Senin, 03 Desember 2012

Peran Orang Kristen di Indonesia, Gereja Katolik Sejak 1860-1942, Gerakan Zaman Baru


I.                   PEDAHULUAN
Sejarah gereja adalah sejarah yang penting dan merupakan harta bagi perkembangan gereja masa kini karena keadaan gereja hari ini tidak terlepas dari apa yang telah terjadi di masa lalu. Kesalahan-kesalahan pada masa lampau bisa menjadi acuan kita agar tidak melakukan kesalahan yang sama sedangkan keberhasilan yang sudah dicapai menjadipelajaran dalam pelayananpekabaran Injil masa kini.
Sejarah gereja Indonesia dimulai saat kedatangan bangsa barat di Semanjung Maluku yang pada awalnya bertujuan untuk mencari rempah-rempah.Akan tetapi tujuan itu berkembangdan salah satunya adalah penyebaran agama di wilayah yang diduduki. Dengan tersebarnya orang Eropa di bumi Nusantara, maka dimulai juga penyebaran agama Kristen maupun Katolik di berbagai tempat di Indonesia. Penyebaran agama terjadi di berbagai kalangan masyarakat dan melalui berbagai cara.
Perjuangan dalam penyebaran agama tidak mudah karena banyak tantangan yang dihadapi, diantaranya datang dari kerajaan-kerajaan Islam dan kurangnya sumber daya manusia yang bisa mengabarkan Injil. Kehadiran agama baru tersebut di sebagian besar daerah Nusantara kurang disambut dengan baik oleh masyarakat karena sudah terlebih dahulu  mendapatkan pengaruh yang kuat dari Islam. Meskipun demikian, di daerah-daerah yang tidak berada di bawah pengaruh Islam, Injil diterima baik dan akhirnya berkembang. Walaupun jumlahnya tidak sebanyak orang Islam, tetapi kehadiran orang Kristen dan gereja di Indonesia telahmemberikan dampak yang besar bagi sejarah bangsa ini khususnya kemajuan dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dibawa oleh bangsa barat ke bumi Nusantara. Diantaranya adalah pendirian sekolah,rumah sakit, dan seminari di berbagai daerah di Nusantara.
Setelah kemerdekaan, Indonesia mendapatkan dampak dari satu gerakan yang berasal dari Amerika, yaitu Gerakan Zaman Baru. Gerakan ini membawa perubahan besar bagi dunia termasuk Indonesia sampai  saat ini.
Dalam makalah kami, kami akan membahas perkembangan dan tantangan agama Katolik di Indonesia, khususnya pada tahun 1860-1942, peranan orang Kristen dalam kemajemukan bangsa Indonesia, Gerakan Zaman Baru dan dampak ketignya bagi Kekristenan masa kini.

I.         PERAN ORANG KRISTEN DI TENGAH KEMAJEMUKAN MASYARAKAT INDONESIA
Besar kecilnya peranan orang Kristen di tengah masyarakat Indonesia tidak terlepas dari persentase orang Kristen pada masa itu. Sekitar tahun 1900, orang Kristen baru mencapai 1%  dari seluruh penduduk Indonesia. Tahun 1938 angka tersebut naik mencapai 2,5%. Sebagian besar orang Kristen tinggal di daerah pedalaman di luar pulau Jawa, berada di bawah pelayanan GPI dan berada di dalam suanana kolonial yang sangat kental. Gereja saat itu adalah gereja negara yang pelayannya merupakan pegawai negri dan tidak akan bersikap kritis terhadap pemerintah kolonial dan tidak mendorong orang Kristen Indonesia untuk menempuh kegiatan di dalam masyarakatnya sendiri. Sedangkan di daerah yang dilayani oleh zending memiliki suasana yang lebih bebas tetapi para utusan zending pada umumnya berasal dari Belanda yang enggan mencampuri soal politik dan tidak berpandangan jauh dalam hal kebudayaan dan kemasyarakatan.
Namun demikian, terdapat faktor-faktor yang secara langsung maupun tidak langsung dapat mendorong orang Kristen Indonesia untuk ikut serta di dalam pembangunan masyarakat dan negara.
1.    BIDANG PENDIDIKAN
Meskipun sederhana, zending dan gereja telah membawa modernisasi ke daerah-daerah yang mereka layani, misalnya jaringan sekolah di Maluku, Minahasa, Poso, dan Tapanuli. Sekolah-sekolah tersebut tidak kalah dengan sekolah di Jawa, bahkan ada yang memiliki mutu yang lebih tinggi. Di wilayah PGI dan berbagai daerah yang terpencil seperti Halmahera, Irian, dan Sumba, bahasa Melayu menjadi bahasa pengantar di sekolah dan gereja. Ketika berdiri sekolah lanjutan dan lembaga pendidikan tinggi, persentase siswa Kristen jauh lebih besar daripada persentase orang Kristen secara umum. Siswa dan mahasiswa tersebut diharapkan dapat ikut serta di dalam kegiatan membina negara dan masyarakat Indonesia bersama dengan rekan dari agama lain.
Sebelum tahun 1942, pemerintah tidak mengizinkan PGI untuk mendirikan sekolah. Oleh karena itu, sumbangan orang Kristen di dalam bidang pendidikan hanya terbatas kepada jaringan sekolah-sekolah yang diselenggarakan oleh lembaga-lembaga zending. Tahun 1938, zending menyelenggarakan sekolah desa (SD 3 tahun) sebanyak 2.584 sekolah dengan jumlah murid mencapai 193.311 orang. Sekolah standard/velvolg (SD  5 tahun) sebanyak 237 sekolah, dan beberapa sekolah pertukangan. Selain itu, zending atau perkumpulan sekolah Kristen yang pada umumnya berkaitan erat dengan zending juga mengelola sekolah yang memakai bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar, yaitu sebanyak 118 sekolah dasar dengan jumlah murid 21.358 orang, MULO sebanyak 12 sekolah dengan jumlah murid 2.656 orang. Di samping itu, juga terdapat 2 buah SMA, yaitu di Jakarta dan Bandung. Untuk pendidikan guru, zending menyelenggarakan 9 buah “normaalleergang” (sekolah pendidikan guru desa), 1 buah Hollands-Inlandse Kweekschool (sekolah pendidikan guru berbahasa Belanda). Sekolah-sekolah zending/Kristen tersebut pada abad ke-20 umumnya mendapatkan subsidi dari pemerintah.
Subsidi yang diberikan biasanya disertai dengan syarat bahwa mata pelajaran yang diberikan harus sama dengan yang diberikan oleh sekolah pemerintah, tetapi pelajaran seperti Pengetahuan Alkitab dan sebagainya boleh ditambahkan. Pada awalnya pihak zending berupaya untuk mempertahankan mutu lebih tinggi daripada sekolah pemerintah, khususnya di sekolah desa, dengan cara menambahkan tahun ke-4 pada sekolah desa 3 tahun. Tetapi kondisi keuangan pada tahun 1920 memaksa pihak zending untuk menghapuskan tahun ke-4 dalam jadwal sekolah desa tersebut. Selain itu, dalam bidang yang lain zending juga tidak berhasil menembus batas-batas kebijakan pemerintah kolonial. Pendidikan pemerintah ditandai dengan 3 asas, yaitu pembedaan menurut ras, menurut kelas, dan menurut bahasa/kebudayaan.Pembedaan menurut ras misalnya di sekolah dasar, termasuk yang berbahasa Belanda, dibagi menjadi sekolah untuk orang Indonesia dan untuk orang Eropa.Pembedaan menurut kelas misalnya sekolah di atas tingkat sekolah desa hanya diperuntukkan bagi anak-anak dari golongan atas.Sedangkan menurut bahasa/kebudayaan misalnya sekolah di atas tingkat sekolah dasar yang umumnya memakai bahasa Belanda.Asas pembedaan menurut ras tidak dipakai oleh zending karena mereka pada dasarnya bermaksud melayani orang Indonesia.Sedangkan asas pembedaan menurut kelas dipakai oleh zending walaupun tidak seketat yang diterapkan oleh pemerintah.Selain itu, zending juga lebih menyukai sekolah berbahasa Belanda atau sekolah pendidikan guru-guru Injil dikunjungi oleh anak dari kalangan atas. Hal ini sesuai dengan tujuan dan harapan zending, yaitu menjangkau orang-orang dari kalangan atas untuk memeluk Kristen dahulu, baru kemudian rakyak banyak akan menyusul. Sedangkan pembedaan menurut bahasa/kebudayaan enggan dilaksanakan oleh pihak zending karena pada umumnya mereka tidak setuju jika anak-anak mendapatkan pendidikan yang bahasa pengantarnya bukan bahasa sehari-hari mereka.Tetapi keinginan dari pihak masyarakat pribumi untuk mendirikan sekolah berbahasa Belanda sangat kuat sehingga zending terpaksa memenuhinya.Jadi, kesimpulannya, di dalam sistem pendidikan, zending tidak berhasil menciptakan sistem pendidikan yang menembus ketiga asas kebijakan pemerintah kolonial.
Oleh karena itu, menurut pihak zending, ada beberapa hal yang membedakan sekolah zending/Kristen dengan sekolah negeri, yaitu sekolah Kristen merupakan saluran untuk pekabaran Injil sehingga melalui sekolah, anak-anak dapat mengenal isi Alkitab dan pokok-pokok iman Kristen. Meskipun hasilnya tidak terlihat langsung dengan pertumbuhan jumlah siswa Kristen, tetapi secara tidak langsung akan membawa siswa dan orangtua untuk bersikap lebih terbuka terhadap Injil dan Kekristenan. Selain itu, di dalam sekolah Kristen, kepribadian anak dibina sehingga ia dapat menjadi manusia seperti yang dikehendaki oleh Allah dan sadar akan tanggungjawab yang diberikan kepadanya. Ini adalah pandangan yang umumnya dimiliki oleh guru sekolah Kristen. Akan tetapi, terdapat beberapa orang seperti J. Kruyt yang mengajar di Poso, T. van Dijk di Sumba, dan I. Kijne di Irian, yang melihat bahwa tujuan ini tidak mungkin dicapai dengan jenis sekolah yang ada karena mata pelajaran yang diajarkan di sekolah ditentukan oleh pemerintah dan sebagian besar pelajaran tersebut hanya berorientasi kepada pengembangan intelektual, bukan kepribadian yang menyeluruh.
Ketika Jepang menjajah Indonesia, terjadi perubahan yang mendalam dalam dunia pendidikan Indonesia.Secara positif, pemerintah Jepang menghapuskan pembedaan kelas yang diberlakukan oleh pemerintah kolonial Belanda sehingga tidak ada lagi perbedaan antara sekolah desa dengan sekolah dasar lainnya. Demikian juga dua asas pembedaan lain yang ditetapkan oleh pihak Belanda juga dihapuskan karena sekolah dasar khusus orang Eropa dan sekolah berbahasa Belanda seperti HIS ditutup dan diubah menjadi sekolah berbahasa Melayu. Secara negatif, pengelolaan sekolah yang dahulunya berada di bawah lembaga zending diambil ahli oleh pemerintah Jepang. Selain itu, ikatan antara sekolah dan gereja juga diputuskan sehingga guru-guru dilarang untuk memimpin ibadah dan melakukan pekerjaan lain di gereja. Setelah perang kemerdekaan, sekolah Kristen di daerah RI dikembalikan kepada gereja atau perkumpulan yang mengelola sebelumnya, sedangkan di daerah yang dikuasai oleh Belanda, untuk sementara berada di bawah kendali pemerintah Belanda.
Tahun 1950, badan-badan penyelenggara sekolah membentuk Majelis Pusat Pendidikan Kristen (MPPK) di Indonesia.Sampai pada tahun 1980, jumlahnya sudah mencapat 124 buah. Peningkatan jumlah SD, SMP, dan SMA dari tahun 1958 sampai 1980 memperlihatkan pertumbuhan dalam bidang pendidikan di Indonesia. Tahun 1958, SD berjumlah 1.538 sekolah dan tahun 1980 mencapai 4.241 sekolah. Sedangkan SMP meningkat dari 135 sekolah menjadi 353 sekolah, dan SMA meningkat dari 24 sekolah menjadi 190 sekolah. Jumlah murid pada tahun 1980 berjumlah lebih dari 900.000 orang (mencakup badan-badan yang bergabung dengan MPPK). Sampai tahun 1966 sudah ada 12 universitas Kristen yang berdiri. Yang paling tua dan terkenal adalah UKI di Jakarta yang didirikan pada tahun 1953. Cita-cita pendidikan Kristen dan sumbangannya untuk kehidupan nasional dirumuskan di dalam Anggaran Dasar MPPK yang berbunyi: “Mempersiapkan tenaga pembangunan yang takut dan taat kepada Tuhan, terampil, menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi serta memiliki integritas moral dan bersedia mengamalkan dirinya di dalam pembangunan bangsa dan negara Indonesia.”
2.    BIDANG KESEHATAN
Pada masa penjajahan, orang Kristen memiliki sumbangsih besar di bidang kesehatan. Pada tahun 1938, terdapat 101 rumah sakit Kristen (termasuk rumah sakit cabang) dengan staf 151 orang Eropa dan 2.398 orang Indonesia, termasuk diantaranya 29 dokter. Pada tahun itu, lebih dari seperempat kegiatan pengobatan dan perawatan untuk orang sakit berlangsung di rumah sakit Kristen. Selain itu, rumah sakit untuk orang Indonesia yang pertama layak disebut rumah sakit merupakan usaha dari dokter-dokter Kristen yang diutus oleh badan-badan zending seperti di Mojowarno dan Yogyakarta.
Di dalam pelayanan kesehatan ini, terdapat perbedaan pandangan antara pendeta zending dan dokter yang bekerja. Para pendeta zending pada umumnya menekankan peranan rumah sakit Kristen sebagai sarana pekabaran Injil. Sebaliknya, para dokter umumnya memandang karya mereka sebagai pelayanan kasih dari pihak jemaat Kristen, juga sebagai pelayanan kepada manusia ciptaan Allah agar dengan badan yang sehat dapat mengabdi kepada Penciptanya. Di samping rumah sakit umum, badan pekabaran Injil juga mendirikan rumah sakit bagi penderita kusta, bahkan juga bagi masyarakat yang ketagihan candu. Semangat pengabdian kepada sesama manusia yang menderita dan yang dibuang oleh masyarakat umum inilah yang merupakan sumbangan agama Kristen untuk kehidupan masyarakat Indonesia.
Pada masa perang, semua rumah sakit swasta diambil ahli oleh pemerintah Jepang dan hanya sebagian kecil yang dikembalikan seusai perang. Pengelolaan rumah sakit Kristen pasca perang merupakan beban yang berat bagi gereja-gereja. Oleh karena itu sejak tahun 1960-an, gereja mulai mencurahkan perhatian pada upaya pencegahan penyakit dengan menempatkannya dalam program pembinaan warga jemaat/desa.
3.    BIDANG EKONOMI
Dalam bidang ekonomi, kondisi zending sama seperti gereja-gereja Indonesia yang mandiri, yaitu tidak memiliki modal besar untuk menciptakan dan mengembangkan sektor ekonomi modern di Indonesia. Meskipun demikian, Kekristenan yang mereka bawa memberikan pengertian baru mengenai hubungan antara manusia dengan alam yang merupakan pengetahuan yang penting bagi daerah pedalaman di luar pulau Jawa karena dapat mempersiapkan suku-suku yang sebelumnya hidup terpencil untuk menyambut gelombang modernisasi yang dapat mengancam kehidupan mereka.Hal ini terealisasikan di dalam proyek-proyek pertanian yang dibuka di Halmahera, Sumba, Sulawesi Tengah, dan daerah lainnya mulai abad ke-19.Contohnya lembaga Dharma Cipta DGI (PGI) yang didirikan tahun 1972 yang menangani pembinaan masyarakat Kristen supaya dapat terbuka untuk pembangunan.Dua tokoh penting yang memberikan sumbangsih di dalam pembangunan secara teologis adalah Dr. P. D. Latuihamallo dan Dr. T. B. Simatupang.
4.      BIDANG POLITIK
Berbeda dengan bidang pendidikan, kesehatan, dan ekonomi, para utusan zending tidak berperan di dalam bidang politik, bahkan mereka juga tidak menyukai jika ada orang Kristen Indonesia yang bergerak di dalam bidang tersebut.Pemikiran seperti ini dipengaruhi oleh paham pietisme yang tidak suka berpolitik.Selain itu, para zending juga diawasi secara ketat oleh pemerintah kolonial.Jadi, jika mereka menyimpang dari tujuan pemerintah, maka mereka terancam diusir.Contohnya zending Gereformeerd yang melayani di Jawa Tengah yang para utusannya memiliki kesetiaan yang besar kepada pemerintah kolonial sehingga mereka tidak mengizinkan orang Kristen untuk bergabung dengan gerakan nasional.Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa yang mendorong orang Kristen Indonesia untuk berpolitik bukan pemimpin rohani mereka, melainkan teman sebangsa yang tidak beragama Kristen.
Meskipun tidak didorong oleh zending, tetapi orang Kristen Indonesia tetap memiliki peranan yang besar di bidang politik, khususnya di daerah yang mayoritas penduduk beragama Kristen seperti di Maluku.Pada abad ke-20, di kalangan Kristen mulai muncul gerakan memperjuangkan kemerdekaan. Di Tapanuli, asal mula gerakan tersebut adalah pemogokan yang berlangsung pada tahun 1905 di Sekolah Raja Narumonda milik RMG. M. H. Manullang sebagai pemimpin pemogokan tersebut dan juga mengusahakan agar orang Batak bisa melepaskan diri dari pengaruh asing di bidang ekonomi, politik, dan agama. Di Jawa Timur, gerekan kemerdekaan dari kalangan Kristen dimulai sekitar tahun 1909. Pada tahun 1918 lahirlah “Perserikatan Kaoem Christen” yang merupakan organisasi politik orang Kristen di Jawa Timur dan Jawa Tengah.Di luar Tapanuli dan Jawa, organisasi politik yang didirikan orang Kristen pada umumnya berdasarkan unsur kedaerahan, bukan agama.Oleh karena itu, orang Kristen hanya berpartisipasi di dalam perkumpulan yang berdasarkan nasionalisme dan sosialisme.
Sebelum masa perang kemerdekaan, sebagian besar orang Kristen Indonesia yang giat di dalam bidang politik tidak bermaksud untuk menghubungkan antara iman Kristen dan perannya di dalam dunia politik sehingga tidak ada tempat bagi partai politik Kristen.Ada beberapa partai Kristen yang didirikan seperti PKC dan Partai Kaum Masehi Indonesia yang tidak berkembang dengan baik.Partai tersebut sebagai partai Kristen di dalam gerakan politis terhalangi oleh sikap konservatif dari kalangan zending.Namun menjelang kedatangan Jepang pada tahun 1941, NIZB mengadakan konfrensi di Solo untuk membicarakan mengenai tanggung jawab orang Kristen di bidang politik. Saat itu tokoh yang hadir antara lain Mr. Amir Sjarifuddin, Dr. J. Leimena, Dr. T. S. G. Mulia.
Setelah Belanda menyerah, Jepang segera membubarkan segala organisasi anti-kolonial dan hanya mengizinkan organisasi sosial-ekonomi.Beberapa tokoh politik Kristen mendapatkan ancaman besar pada masa itu.Misalnya Amir Sjarifuddin yang ditangkap dan hendak dihukum mati karena memimpin gerakan bawah tanah anti-Jepang tetapi diselamatkan oleh pengantaraan Soekarno dan Hatta.Selain itu, Dr. Leimena juga ditangkap karena diduga mata-mata musuh.Orang Kristen lainnya menggabungkan diri di dalam PETA.
Menjelang persiapan kemerdekaan RI, para mahasiswa Kristen dan tokoh masyarakat Kristen ikut bergerak.A. A. Maramis dan J. Latuharhary ikut serta di dalam Badan Persiapan Kemerdekaan.Dr. J. B. Sitanala ikut berbicara di dalam kelompok yang menetapkan naskah UUD 1945.Selain itu, R. Tobing dan B. Probowinoto juga merupakan pemimpin Badan Persiapan Persatuan Kristen (BPPK) yang turut mempersiapkan pembentukan PARKINDO yang berlangsung sesudah perang.
Pada masa antara tahun 1945-1949, orang Kristen terbagi menjadi dua seperti juga yang terjadi di kalangan agama lain, yaitu kelompok yang memihak kepada RI dan yang memihak kepada Belanda. Tokoh di golongan pertama antara lain Amir Sjarifuddin, J. Leimena, dan T. B. Simatupang. Beberapa daerah Kristen seperti Sumatra Utara memberikan perlawanan yang sangat gigih kepada pemerintah Belanda.Sedangkan di pulau Jawa, orang Kristen termasuk yang berada di dusun-dusun juga ikut serta di dalam perjuangan bersenjata melawan Belanda.
November 1945, Pdt. B. Probowinoto dan tokoh lainnya mendirikan PARKINDO yang sampai tahun 1970-an menggabungkan sebagian besar orang Kristen di Indonesia. Selain itu, ada juga orang Kristen yang ikut serta dengan partai politik lain, misalnya Dr. Ratulangi dan Mr. Latuharhary di dalam PNI. Pemimpin PARKINDO antara lain Probowinoto, W. Z. Johannes, J. Leimena, A. M. Tambunan.
Keikutsertaan orang Kristen dalam perjuangan nasional memungkinkan mereka diterima oleh golongan lain sebagai warga negara penuh dalam negara RI yang merdeka. Selain itu, banyak orang Kristen menjadi anggota kabinet yang berturut-turut dan duduk dalam pimpinan ABRI. Unsur pokok dalam partisipasi Kristen di bidang politik pada masa kemerdekaan adalah sikap loyal terhadap pemerintah, yaitu ikut mendukung dan mempertahankan Pancasila sebagai dasar negara, menolak ideologi komunisme khususnya pada tahun 1957-1966, dan merupakan kelompok moderat di tengah pergolakan zaman. Sampai peleburan PDI pada tahun 1970-an, PARKINDO menjadi salah satu saluran penting bagi aspirasi serta pemikiran Kristen di bidang sosial-politik.Di samping itu, sejak tahun 1950, DGI (PGI) menjadi wadah penting dalam memikirkan tanggung jawab Kristen dalam politik.T. B. Simatupang selaku tokoh penting DGI menekankan kewajiban setiap orang Kristen untuk memikul tanggung jawabnya terhadap nasib masyarakat dan negara dengan berpartisipasi dalam bidang politik.Selain itu gereja-gereja juga bertugas mempersiapkan anggotanya agar dapat memenuhi kewajiban dalam bidang tersebut.Partisipasi yang diberikan harus positif, kreatif, kritis, dan realistis.Selain itu, gereja dan DGI sering mengeluarkan pernyataan-pernyataan yang ditujukan kepada pemerintah, masyarakat, dan golongan Kristen, yang berhubungan dengan salah satu masalah politik.

II.      SEJARAH GEREJA KATOLIK DI INDONESIA
1.        GEREJA KATOLIK PERIODE 1860-1900
Pada tahun 1830-an, prefek apostolik Shcolten, merangkap sebagai pastor di Batavia, menimbulkan amarah pemerintah karena menganjurkan orang-orang Katolik agar tidak menjadi anggota ‘Free-masonry’ dan agar tidak kawin dengan seorang Protestan. Ia dituduh bersikap “anti kolonial”. Dan dia digantikan oleh mgr. Grooff (1842-1845) meneruskan kebijaksanaan itu. Bentrokan tidak dapat dielakkan lagi ketika Vikaris baru itu memberhentikan tiga pastor karena cara mereka yang duniawi dan karena tidak taat kepada atasan mereka, yaitu Vikaris. Pemberhentian itu melanggar hak-hak pemerintah. Oleh karena itu  Gubenur Jendral memihak kepada orang-orang yang telah dipecat itu dan membuang mgr. Grooff dari wilayah Hindia-Belanda.
Pada permulaan tahun 1866 Mgr. P.M. Vrancken mengirim suatu laporan ke Roma mengenai keadaan gereja di vikariatnya. Ada 8 stasi, tempat tinggal seorang pastur: Batavia, Semarang, Ambarawa, Yogyakarta, Surabaya, Padang, Sungaiselan dan Larantuka. Pada waktu itu penduduk seluruh Indonesia berjumlah 19.000.000 jiwa. Stasi terbesar ialah di Larantuka dengan 11.200 orang Katolik. Stasi ini meliputi Flores, Timor, Adonara, dan beberapa pulau lain disekitarnya. Pastur Larantuka juga masih mengadakan “perjalanan dinas” ke Makasar dan Bima. Sungai Selan merupakan stasi “Cina Kolong” yang bekerja dipertambangan timah Bangka; kebanyakan mereka akhirnya kembali ke tanah leluhur mereka. Sedangkan di stasi lain, unsur Eropa/Indo lebih dominan.
Untuk melayani umat Katolik yang tersebar luas, dibutuhkan 12 pastur, 4 bruder dari Kongregasi Aloysius di Surabaya sejak tahun 1862, dan 30 suster Ursulin yang ada di Jakarta sejak tahun 1856. Akan tetapi, jumlah tersebut sama sekali tidak memadai untuk karya gereja, baik yang pastoral diantara umat Katolik, maupun karya pewartaan Injil diantara orang pribumi.
Gereja Katolik di negeri Belanda ditindas dan menjadi lapangan misi sendiri. Pada tahun 1840 dicabut larangan bagi ordo-ordo untuk menerima anggota baru, dan pada tahun 1853 didirikanlah hirarki dengan 5 uskup. Dari keadaan itu, gereja Katolik di Belanda akhirnya dapat berkembang dengan merdeka dan sedikit demi sedikit mampu menyediakan tenaga-tenaga bagi karya pewartaan injil di luar negeri.
Perhatian pertama gereja pada waktu itu ditujukan pada kawan-kawan seiman, yaitu orang Katolik Eropa dan Indonesia. Karena pegawai dan tentara kerap kali dipindah-pindahkan, maka perawatan rohani yang sedikit kontinyu tak mungkin. Mutu moral di lingkungan KNIL tidak begitu tinggi, dan banyak prajurit dan opsir baru berpikir tentang keselamatan kekal waktu mereka dirawat di salah satu rumah sakit tentara atau waktu akan menjalankan tugas yang amat berbahaya.
Suatu penghalang yang amat besar adalah adanya larangan bagi prajurit-prajurit biasa untuk menikah. Hal ini juga berlaku juga bagi banyak pekerja Belanda dalam berbagai perusahaan dan perkebunan. Bagi para prajurit dan opsir itu lalu disediaan huishoudster atau nyai. Kalau mereka pulang ke Eropa atau pindah jauh, nyai itu kerap kali ditinggalkan dengan anak-anaknya begitu saja. Anak-anak Indonesia diakui oleh ayah mereka dengan demikian menurut hukum mereka termasuk golongan Eropa. Kerap kali permandian dianggap bukti pengakuan. Maka dari itu banyak orang tua walalupun mereka tidak menjalani hidup Katolik, tetapi ingin supaya anak mereka dibabtis. Hal itu mereka lakukan juga untuk harapan bahwa kelak gereja akan memperhatikan nasib anak-anak mereka.
Rumah yatim piatu Katolik pertama didirikan di Semarang tahun 1809, disusul di Jakarta tahun 1856 dan Surabaya tahun 1862. Tahun selanjutnya di Padang, Bogor, Magelang, Malang dan Medium mendapat panti asuhan yang serupa. Panti tersebut dipimpin oleh para bruder atau suster. Para suster inilah yang membimbing anak-anak Indonesia dengan sungguh-sungguh.
Pada tahun 1859 ditandatangani suatu perjanjian antara Portugal dan Belanda. Portugal memberikan haknya atas Larantuka, Sikka, dan Faga di Flores dan atas Adonara dan Solor kepada Hindia Belanda. Pada masa itu umat Katolik sudah ada tetapi masih terlantar. Tahun 1851 untuk terakhir kalinya seorang pastur dari Dilli mengunjungi Larantuka beberapa hari lamanya. Mereka merasa sebagai orang Katolik dan mereka takut kelak akan dipaksa masuk serani muda alias Protestan oleh kompeni.
Usaha yang paling pertama dan mendesak ialah Kekristenan orang Katolik ini. Di Larantuka dan di beberapa tempat sejak zaman dulu ada perkumpulan yang disebut confraria (persaudaraan), Santa perawan Maria, dengan dewa pengurus (Procurador), bendahara (thesoureiro), penulis (escrivao), dan pemimpin kor sekaligus guru agama (mestre).
Salah satu hambatan terbesar bagi karya misi pada waktu itu ialah pribadi raja Don Andre de Vieira Godinho. Ia suka minum candu, memiliki istri empat atau lebih. Situasi berubah pada tahun 1887 ketika Don Lorenzo naik tahta. Mulai kecil ia didik di sekolah misi, dan ketika masih muda dia mengajar agama, mendatangi kampung-kampung orang yang belum Katolik untuk menyiapkan jalan Tuhan. Hambatan lain tidak hanya di Flores tetapi juga di pulau-pulau lain di mana datang dari pihak kolonial. Pejabat-pejabat paling rendah tidak jarang bertindak seperti raja agung. Mereka iri hati terhadap pastur yang menikmati kepercayaan rakyat. Mereka memihak anti Katolik dan sebagainya.
Faktor lain yang menghalangi perkembangan gereja ialah bahwa dalam kurun waktu 9 tahun ada 13 missionaris berganti-ganti melayani umat. Perang antar kampung juga menghambat perkembangan gereja dan karyanya. Menurunnya jumlah anggota gereja bukan karena jumlah orang yang meninggal, tetapi akibat peperangan sehingga orang banyak yang melarikan diri, ladang dan kebun ditinggalkan, pelajaran tidak dapat diberikan secara teratur, kelaparan meraja lela. Orang yang meninggal akibat peperangan tersebut hanya dalam jumlah yang kecil.
Sesudah tahun 1905 Katolik berkembang pesat, baik di kampung-kampung yang sejak dulu sudah mejadi Katolik, maupun di kampung-kampung lain di daerah yang terisolir. Perhatian bagi pewarta Injil meningkat dan seolah-olah lebih rajin dikunjungi. Pada tahun 1909 H.Colijn mengunjungi Flores. Dengan amat terbuka dan objektif ia mendengar segala usul dan keluhan para misionaris. Sesuai inspeksinya, sikap pemerintah daerah terhadap misi membaik.
Pada tahun 1905 Dekrit Paus Pius X, menganjurkan supaya orang Katolik menyambut komuni suci dan sakramen penitensi, mendorong hidup Katolik tetapi sekaligus  memperberat tugas para pastur. Pada tahun 1914 Flores dipercayakan Takhta suci kepada para pater Serikat Sabda Ilahi.
Sekitar tahun 1850, di kepulauan Talaud sudah tidak ada lagi orang Kristen. Di pulau-pulau Sangir tetap ada jemaat-jemaat Kristen, lengkap dengan gedung gereja dan sekolahnya. Jemaat-jemaat ini tetap memelihara kerangka kehidupan Kristen. Agama Kristen tidak berhasil meresap dalam kehidupan sehari-hari; agama itu merupakan "agama upacara" karena para penghantar jemaat tidak berpendidikan khusus; kebaktian dijalankan dalam bahasa asing, yakni bahasa Melayu; tidak ada majelis gereja; tidak ada pelayanan Perjamuan Kudus, karena tidak ada anggota sidi; buku Kitab Suci (dalam bahasa Melayu kuno) sudah amat langka, pengajaran agama yang diperoleh di sekolah juga hanya dinikmati oleh segelintir anak-anak. Singkatnya, jenis Kekristenan seperti yang terdapat di jemaat-jemaat VOC yang terlantar itu sangat bertentangan dengan cita-cita yang dikandung oleh para pekabar Injil yang dalam tahun 1850-an datang ke Sangir-Talaud.
Para pendeta dan pekabar Injil yang dari Minahasa melakukan kunjungan ke Sangir-Talaud mendesak agar menangani karya PI di pulau-pulau itu. Selain memiliki lapangan kerja di Maluku, Timor, dan Minahasa, mereka mulai mengutus tenaga ke Jawa Timur tetapi mereka merasa tidak mampu. Maka Panitia Zendeling-tukang merasa terpanggil untuk mengisi lowongan itu. Dalam tahun 1857, sesudah 2 tahun perjalanan, 4 zendeling-tukang mendarat di pulau Sangir, 2 tahun kemudian 4 orang lagi tiba di Talaud. Sesuai dengan asas yang dianut oleh Panitia tersebut, mereka tidak mendapat gaji yang tetap. Namun, pemerintah mengakui jemaat-jemaat di Sangir sebagai jemaat-jemaat VOC, sehingga bersedia menyediakan anggaran untuk para pekerja baru itu. Mereka ini kebanyakan orang Jerman dari kelompok Gossner.  Yang menjadi tokoh yang terkenal di antara mereka ialah E. T. Steller, yang selama masa 1857-1897 bekerja di Manganitu, Sangir Besar.
Steller bersama rekan-rekannya segera menjalankan upaya untuk membenahi jemaat. Mereka ingin supaya semua anggota memiliki kesalehan hati dan kesucian hidup. Mereka memberantas kepercayaan takhyul, kebiasaan minum minuman keras dan perkawinan poligami yang banyak terdapat di kalangan orang Kristen. Selain itu, mereka juga secepat mungkin mulai menggunakan bahasa daerah sebagai ganti bahasa Melayu. Beberapa bagian Alkitab mereka terjemahkan ke dalam bahasa daerah (1883, PB dalam logat Siau; 1942, PB dalam bahasa Sangir), begitu pula Katekismus Heidelberg (1871), Perjalanan seorang Musafir karangan J. Bunyan, dan lain-lain.
Di Pulau Bangka, sejak abad ke-18 terdapat tambang-tambang timah. Buruh tambang adalah orang-orang Tionghoa. Pada tahun 1830 di sana menetap seorang dokter dari Tiongkok yang bernama Tsen On Nie (1795-1871). Ia telah di baptis 3 tahun sebelumnya di pulau Penang (Malaysia) dan setelah bekerja di Bangka mulai mengabarkan agama Kristen di tengah kaum buruh Tionghoa. Dokter Tsen On Nie meninggal 14 September 1871, berusia 86 tahun. Dia digantikan oleh pastur baru, yaitu J. De Vries yang tiba di Sungaiselan. Karya Gereja Bangka tidak membawa banyak hasi karena umat yang kebanyakan terdiri dari “Cina Kolong”, buruh pertambangan yang sesudah beberapa tahun kembali ke negeri leluhur. Tahun 1883 seperempat dari jumlah umat meninggal karena wabah beri-beri. Usaha misi untuk mendekati “orang-lom” (yang belum masuk Islam) gagal. Tahun 1888 di Sungaiselan tinggal dua katekis, yang dikunjungi setiap dua kali dalam setahun oleh pastur dari Jakarta sampai Sumatera dan pulau-pulau sekitarnya dipercayakan kepada para Pater Kapusin.
Pada permulaan 1877 Mgr. Claessens mendengar dari Gubernur Jenderal bahwa residen Timor meminta bantuan misionaris untuk Sumba. Karena kekurangan tenaga dan karena meletusnya peperangan antara raja-raja di Sumba, maka tahun 1885 pater H. Leemker mengunjungi beberapa tempat di Sumba Timur, di mana sebelumnya zendeling Van Alphen bekerja tiga tahun lamanya tanpa hasil sedikit pun.
Hari Paskah 1889 pater B. Schweits dan bruder G. Busch menetap di Laora. Raja Umbu Kaondi yang kelihatannya sangat simpatik memberi izin agar anak-anak boleh dipermandikan. Tetapi ini dilakukan dengan agak naif dan tergesa-gesa, dan berharap bahwa anak-anak tersebut nanti bisa dididik dengan baik. Sampai akhir tahun 1889, pastur Schweitz membaptis sejumlah 758 anak kecil. Setelah itu tidak ada lagi orang yang meminta anaknya untuk dibaptis. Banyak hambatan yang dihadapi: poligami, terutama di kalangan pemuka rakyat; perbudakan; keserakahan (kedua kuda pasturan dicuri).
Pada tahun 1898, pastur membuka sekolah putri di tempat yang terpencil itu. Baru beberapa minggu berselang sudah ada 19 siswi dan di antara mereka 5 anak raja dan 3 calon menantu raja.  Dan di sekolah tersebut sangat membutuhkan suster, namun sedikit kemungkinan karena keadaannya kurang mendukung. Akhirnya pimpinan misi di Jawa beranggapan bahwa di Sumba tidak ada keseimbangan antara ongkos finansial dan jumlah tenaga di satu pihak, hasil dan harapan di lain pihak. Maka tahun 1898 Laora ditinggalkan.
Selama dua tahun, antara Oktober 1885-September 1887 dicoba karya misi di Kendari. Kontak pertama dengan suku Tokea dari pedalaman berjalan tidak lancar, terutama ketika wabah cacar merajelela dan mereka tidak berani turun ke pantai. Pukulan terakhir datang ketika asisten-residen Benscbach datang ke Kendari dan menganjurkan kepada penduduk setempat supaya mereka membangaun sebuah masjid, tepat berhadapan dengan pasturan.
Di Makasar, Ujungpandang sekarang, pada akhir tahun 1892 ada seorang pastur yang menetap. Jumlah umatnya tak pernah melebihi 250 jiwa.
Misi di Minahasa, Sulawesi Utara. Tahun 1853 pastur De Hessele mengadakan turne di daerah itu selama empat bulan. Ia bertemu dengan kira-kira 120 orang Katolik, Belanda, Indonesia, tetapi kebanyakan orang Filipina. Pada akhir 1861 pastur Sanders dari Larantuka mengunjungi Banda, Ambon, Ternate, dan Manado.
Kontak Gereja yang pertama dengan orang asli Minahasa terjadi di Pulau Jawa. Tahun 1851 di Surabaya ada 10 prajurit dan 9 wanita Minahasa masuk Gereja Katolik. Tahun 1861 di Semarang 43 tentara. Antara 1859-1861 di Ambarawa 56 tentara. Setelah mereka dipensiunkan, kebanyakan pulang ke kampung halamannya. Misalnya, Daniel Mandagi, orang Minahasa Katolik pertama, yang pada tahun 1868 mengirim surat kepada Mgr. Vrancken memohon supaya seorang imam datang ke Minahasa dan untuk memenuhi permohonan tersebut pastur J. De Vries SJ diutus.  Selama kunjungan di Minahasa pastur de Vries membaptis 254 orang, yang hanya sebagian dari keluarga Kristen-Protestan. 
Dalam tahun-tahun selanjutnya Gereja Katolik mengalami banyak rintangan. Karena “situasi khas” Minahasa, yang oleh residen Jellesma disebut “negara Protestan”, maka bertahun-tahun lamanya Mgr. Luyen tidak boleh berkeliling menerimakan sakramen krisma dan para suster YMY tidak boleh membuka sekolah.
Tahun 1886 Manado menjadi stasi tetap dengan B. Mutsaers SJ sebagai pastur pertama. Perhatiannya yang pertama ialah memperdalam pengetahuan agama para guru dan katekis supaya jemaat-jemaat dan sekolah-sekolah terjamin mutunya. Untuk itu pastur A. Van Velsen (dikemudian hari menjabat Vikaris Apostolik Jakarta) membuka suatu ‘sekolah guru berkeliling’.  Praktek sekolah: kalau pastur berada di pasturan Tomohon – stasi kedua di Minahasa – pada sore hari para calon guru diberi pelajaran. Tujuannya, sehabis Misa, pengakuan, permandian, pelajaran agama bagi umat, pastur mengajar siswa-siswanya. Ijazah bagi para calon guru merupakan soal. Tahun 1904, 25 calon pertama kursus ini menempuh ujian dan lulus semua. Pada tanggal 19 November 1919 didirikan Prefektur Apostolik Sulawesi yang dipercayakan kepada para Pater MSC. Waktu itu di Ujungpandang ada sekitar 500 orang Katolik, sedangkan di Minahasa lebih dari 10.000 orang.
Sesudah Jakarta, Semarang, dan Surabaya, Padang menjadi stasi keempat di Indonesia. Sejak tahun 1837 hampir selalu ada seorang pastur menetap di kota itu. Wilayah Parokinya meliputi seluruh pulau Sumatera. Pada tahun 1871 jemaat Padang terdiri dari sekitar 600 orang militer dan 400 orang sipil. Dari jumlah itu hanya 60 yang menerima komuni Paskah. Sembilan Suster Belaskasihan tiba di Padang pada tahun 1885. Mereka membuka taman kanak-kanak, sekolah “pertama” yang netral di mana murid-murid membayar uang sekolah, dan sekolah “kedua” yang hanya untuk anak-anak Katolik yang orang tuanya tidak mampu.
Padang juga menjadi stasi pertama dari pastur H.C. Verbraak SJ. Medan menjadi stasi pada tahun 1878. Pastur pertama, C. Wenneker berkeliling menemui 106 orang Eropa, 24 orang Tionghoa, dan 106 orang Keliling Katolik yang asli India Selatan dan berbahasa Tamil. Pastur ini lebih mengarahkan perhatian kepada orang Batak. Ketika usianya mencapai 75 tahun dan bekerja di paroki di Jakarta, dia masih memberikan pelajaran agama kepada orang Batak yang merantau ke ibukota. Tetapi karena berbagai sebab, stasi Medan tidak bisa berkembang baik.
Sesudah diadakan beberapa kali perjalanan untuk menyelidiki situasi dan mengunjungi orang Katolik – Belanda dan Tionghoa – yang tersebar luas, maka didirikan stasi Singkawang dengan W.J. Staal sebagai gembala umat. Kemudian pastur ini menjadi Yesuit pertama yang menjabat sebagai Vikaris Apostolik, 1893-1897. Seluruh Kalimantan Barat dan Belitung ada antara 500-600 orang Katolik. Bedanya dengan Bangka ialah bahwa di Kalimantan Barat orang-orang Tionghoa menetap dan banyak yang hidup dengan bercocok tanam.
Pastur H. Looymans dipilih untuk mulai misi baru. Ia menetap di Sejiram pada sungai Sebruang, daerah yang membiakkan babi dan kambing, membuka hutan, menanam pohon kopi. Ia mencoba mendapat kepercayaan mereka dan mengikat mereka kepada daerah tertentu sehingga tidak berpindah-pindah.  Ia juga memperhatikan generasi muda.
Pada tanggal 1 Juli 1888 pastur J. Kusters dan J. Booms tiba di Tual, kepulauan Kei, atas undangan seorang pengusaha Jerman. Pada awalnya kerasulan di sana amat sulit. Hampir tidak ada kontak dengan kampung-kampung dekat Tual yang sudah masuk Islam. Perubahan yang tak disangka-sangka terjadi pada tanggal 19 Juli 1889, ketika pastur Kusters untuk kedua kalinya mengunjungi Langgur, sebuah kampung seberang Tual. Pada waktu itu Langgur ditimpa wabah sakit panas. Dengan pengobatannya pastur berhasil mengatasi wabah dan hati penduduk mulai terbuka bagi pekabaran Injil, terutama anak-anak yang mengikuti pelajaran. Pada tanggal 4 Agustus 1889 sepuluh anak yang paling rajin dipermandikan dalam upacara agung yang amat mengesan kepada seluruh Langgur. Dan gereja besar pun dibangun, kapel-kapel didirikan di beberapa kampung. Sebuah sekolah dibuka di Kolseer dengan seorang guru dari Minahasa. Tahun 1905 para Suster Fransiskanes datang untuk pendidikan putri dan karya medis. Tahun 1890 orang Katolik bertambah yang tadinya 38 menjadi 743 sampai tahun 1900. Tahun 1904 misi muda ini deserahkan kepada para pater MSC.
Perintis jalan di lain pulau Indonesia Timur ialah pater C. Le Cocq d’Armandville, pada hari terakhir tahun 1891 tiba di Seram untuk menjajaki kemungkinan karya misi. Iklimnya berat, pendudunya langka, saran perhubungannya hampir tidak ada. Jadi, tantangannya cukup berat di daerah itu. Di kepulauan Watubela yang dikunjunginya bulan Mei 1893 harapannya lebih baik, tetapi para penduduk diteror oleh raja setempat dan tidak bergaul lagi dengan pastur.
Tanggal 22 Mei 1894 pastur Le Cocq mendarat di Kapaur, di Teluk Berau. Penduduk yang sedikit, tetapi menerima pastur dengan ramah-tamah. Pada saat itu ia tinggal hanya selama sepuluh hari bersama mereka dan berjanji akan datang kembali. Tanggal 1 Mei 1895 ia datang lagi, disertai dua bruder. Tetapi ketika pater Keijser, superior Yesuit, mengunjungi Irian, pater Le Cocq kesehatannya terganggu sehingga disuruh berobat ke Jawa. Dia bertolak dari Kapaur tanggal 5 Maret 1896 untuk tidak kembali lagi. Pada saat perjalannya tersebut, pastur Le Cocq tenggelam di daerah Kapia, tetapi ada indikasi kuat bahwa ia ditenggelamkan dengan sengaja oleh awak kapal. Kematian yang tragis merupakan akhir sementara bagi karya Gereja Katolik di Irian, karena Bomfia dan Watubela sudah ditinggalkan sebelumnya. Sesudah pastur Le Cocq meninggal diterbitkan beberapa daftar kata bahasa Seram, Bomfia, dan Kapaur yang telah disusunnya.
Sepertiga abad sesudah Mgr. P. M. Vrancken menyusun laporannya, dalam tahun 1899 di seluruh Indonesia ada 47.732 orang Katolik. Yang bekerja di kebun anggur Tuhan masih satu imam sekulir, Maria Josef Claessens, kemenakan Mgr. A. Claessens yang menjabat Vikaris Apostolik dari tahun 1874 sampai tahun 1893. Pastur M. J. Claessens datang ke Indonesia pada tahun 1877, sebagai iman paraja yang terakhir. Di Bogor, ia mendirikan rumah yatim piatu putra Santo Vinsensius. Tahun 1907, ia kembali ke Belanda dan masih bertahun-tahun lamanya bersusah payah bagi misi yang dicintainya sampai dia meninggal.
Dari Serikat Yesus ada 50 imam dan 15 bruder di Indonesia (satu bruder Jawa, yang lain di Flores, Timor, dan Langgur). 85 Suster Ursulin, 33 Suster Fransiskanes, dan 15 Suster Belaskasih mengajar di sekolah-sekolah Jakarta, Surabaya, Semarang, Padang, Larantuka, dan Lela. 30 Bapak guru dan 18 Ibu guru ikut mengajar di sekolah-sekolah misi, antara lain di 18 sekolah di Minahasa dengan 29 Bapak guru. 11  Bruder S. Aloysius mengajar di 2 sekolah di Surabaya. Jumlah murid pada waktu itu 4.867 (1.422 di asrama).
Tahun 1885-1890 disadari bahwa Serikat Yesus sendirian tidak sanggup lagi menangani segala karya misi di Nusantara, karena pada tahun 1889-1891 ada 16 imam baru datang sedangkan tenaga kerja sangat dibutuhkan bagi pekerjaan orang Indonesia dan di paroki-paroki Belanda. Tahun 1887-1889 9 imam meninggal dunia pada usia muda. Pada akhir tahun 1890an stasi-stasi seperti Laora di Sumba, Tanjung Sakti, Sungaiselan, Singkawang, Sejiram ditinggalkan dan hanya dikunjungi paa perjalanan dinas. Usaha perintisan Le Cocq di Irian tidak dilanjutkan.
Di Negeri Belanda akhir abad ke-19 jumlah biarawan-biarawati semakin bertambah dibandingkan 50 tahun sebelumnya. Yang lebih menarik perhatian ialah ada banyak kongregasi bruder dan suster yang abad ke-19 didirikan di Belanda, contohnya: MSC, SJC, MSF berasal dari Perancis, SVD dari Jerman dan berkembang di negeri penampung.
Karena sifat yang internasional, para misionaris Belanda juga lebih internasional di dalam medan kerjanya. Dari 3.571 misionaris imam yang berasal dari Belanda antara 1810-1940, ada 800 orang yang mengrasul di Indonesia, sedangkan yang lain disebar ke segala penjuru dunia.

2.        GEREJA KATOLIK PERIODE 1900-1942
Pada tanggal 21 Mei 1898, Pastor di Maumere Edmundus Luypen SJ (diangkat menjadi Vikaris tahun 1891 menggantikan Mgr. W.J Staal SJ) memimpin Vikariat Apostolik selama seperempat abad hingga beliau wafat tahun 1923. Wilayah yang dijangkaunya sudah seluruh Indonesia kecuali pulau Jawa. Masalah terbesar yang dihadapi adalah nota der punten tahun 1847 yang hanya mengakui satu vikaris Apostolik.[i] Hal ini menjadikan proses regenerasi menjadi lambat dan seakan-akan berhenti.
Melalui perundingan yang lama antara instansi di Roma, Jakarta, dan Belanda, tahun 1913 baru dikukuhkan suatu peraturan lanjutan yaitu Nadere Regeling yang berisikan para Vikaris Apostolik yang baru diakui oleh pemerintah sebagai kepala gereja di masing-masing wilayah mereka. Hasil dari peraturan lanjutan sangat signifikan karena seorang pastur bisa bekerja dengan jemaat yang sudah kuat imannya untuk melakukan penginjilan kepada orang yang belum beragama.
Pertumbuhan ini ditunjukan oleh hasil statistik misi Katolik di Indonesia tahun 1928-1942 yang setiap tahunnya diterbitkan buku alamat. Sejak tahun 1932 diolah oleh Centraal Missie Bureau dengan judul “Jaarboek 1932” dan seterusnya. Untuk membandingkan dengan hasil sebelumnya maka dibuatlah statistik tahun 1928 dan 1941. Dilihat dari statistik ini terjadi pertambahan orang Katolik (totok dan indo) dengan cepat.
Pada tahun 1928 ada 250 imam, 206 bruder dan 870 suster di 10 vikariat dan prefektur. Hal ini bertambah banyak pada tahun 1941 yang juga melihatkan orang pribumi. Pada tahun ini ada 565 imam (16 pribumi), 510 bruder (60 pribumi) dan 1.933 suster (206 pribumi). Kemajuan ini masih dtambah oleh para biarawati yang bekerja di sekolah-sekolah 1.248 orang dan juga 3.417 bapak/ibu guru. Jumlah sekolah dari segala macam tarekat biarawan-biarawan itu ada 1.868 dengan 170.033 murid.
Pada akhir kolonial di Jawa, terdapat sekitar 80% orang Katolik dari Eropa dan kurang dari 10% Katolik pribumi. Pertumbuhan ini terutama disebabkan oleh banyaknya orang Katolik Belanda yang datang ke Indonesia pada sekitar tahun 1900 untuk menjadi guru, pegawai, karyawan bank, perusahaan, perkebunan dll. Dengan pelayanan yang intensif, mutu dari Katolik juga bertambah. Dan hasilnya didirikanlah berbagi organisasi seperti “Katholieke Sociale Bond” (1913) atas inisiatif awam yang terlibat dalam gereja bersama dengan pastur J.J. van Rijckevorsel SJ yang bekerja di jakarta tahun 1909-1925. Cabang dari organisasi ini juga didirikan di Yogyakarta, Bogor, Malang, Medan, Surabaya dan Semarang. Dari KSB ini selanjutnya banyak organisasi yang muncul dari muda-mudi, guru dan sebagainya yang didirikan oleh pastur van Rijckevorsel seperti KJB, KMB, KOB.
KSB-KSB menjalankan beberapa aktivitas yang beraneka warna, seperti di Jakarta ada panitia wisma tentara Katolik, biro informasi dan pertolongan bagi para misionaris di luar Jawa; Stud-club untuk persoalan sosial dan sebagainya. Banyak dari KSB yang terjun pada dunia politik. Di bawah ini adalah berbagai karya yang dihasilkan oleh perkembangan Katolik tahun 1900-1942.[ii]
A.    KARYA PENDIDIKAN
Misi Katolik di daerah diawali oleh Pastor F. van Lith, SJ yang datang ke Muntilan pada tahun 1896 dan kemudian menyebar ke daerah-daerah lain.[iii] Pada awalnya usahanya tidak membuahkan hasil yang memuaskan, akan tetapi pada tahun 1904 tiba-tiba 4 orang kepala desa dari daerah Kalibawang datang ke rumah pastur dan mereka minta untuk diberi pelajaran agama. Tanggal 15 Desember 1904, rombongan pertama orang Jawa berjumlah 178 orang dibaptis di sebuah mata air Semagung yang terletak di antara dua batang pohon Sono. Tempat bersejarah ini sekarang menjadi tempat ziarah Sendangsono. Pastur van Lith juga mendirikan sekolah guru di Muntilan yaitu Normaal school di tahun 1900 dan Kweek school (Sekolah Pendidikan Guru) di tahun 1904.
Selain di Muntilan pendirian sekolah-sekolah juga terjadi di beberapa daerah di Nusantara antara lain Jakarta, Bogor, Semarang, Surabaya, Padang, Minahasa, Flores, Timor dan Kei. Semua sekolah dipegang oleh suster, kecuali tiga panti asuhan (rumah yatim piatu) di Jakarta, Bogor dan Surabaya yang dikelola oleh kumpulan St. Vincentius, dan dua sekolah di Surabaya yang dipimpin oleh bruder St. Aloysius.
Pada tahun 1918 sekolah-sekolah Katolik dikumpulkan dalam satu yayasan, yaitu Yayasan Kanisius. Para imam dan Uskup pertama di Indonesia adalah bekas siswa Muntilan. Pada permulaan abad ke-20 gereja Katolik berkembang pesat. Pada 1911 Van Lith mendirikan Seminari Menengah. Tiga dari enam calon generasi pertama dari tahun 1911-1914 ditahbiskan menjadi imam pada tahun 1926 dan 1928, yaitu Romo F.X.Satiman, SJ, A. Djajasepoetra, SJ, dan Albertus Soegijapranata, SJ. Albertus Soegijapranata menjadi Vikaris Apstolik (uskup) pribumi pertama yang ditahbiskan pada 1 agustus tahun 1940.[iv]
B.     KARYA POLITIK
Selain meninggalkan karya pendidikan, Pastor F. van Lith, SJ juga meninggalkan karya politik bagi bumi Nusantara ini. Dia adalah pendiri sekolah di Muntilan dan juga menjadi inspirator bagi bekas murid-muridnya memahami apa yang hidup dalam hati orang pribumi. Pada tahun 1922 ia mengarang suatu brosur “De politiek van Nederland ten opzichte van Nederland-Indie” (politik Belanda terhadap Hindia-Belanda). Pandangan yang ditulis dalam brosur ini adalah seandainya VR tetap didominasi mayoritas anggota Belanda, lebih baik kekuasaan tertinggi tetap dipegang di Den Haag. Karena orang-orang Belanda di Indonesia, mau tidak mau, menjadi ahli waris VOC dalam semangat dan sikap mereka terhadap orang pribumi. Kebanyakan mereka tidak melihat perubahan zaman dan munculnya suatu generasi yang baru, dengan semangat juang yang tak terkalahkan. Pastor F. van Lith, SJ mempunyai harapan tipis, bahwa orang-orang Belanda (dan Indo) masih akan mengubah seluruh sikap mereka. Akan tetapi “semua orang kini tahu bahwa kami para misionaris ingin bertindak sebagai penengah. Akan tetapi semua orang juga tahu bahwa jika akhirnya sampai terjadi perpecahan dan kami terpaksa harus mengadakan pilihan, maka kami akan berdiri di pihak golongan pribumi.”
Kalimat terakhir ini menimbulkan pergulatan pada kalangan Belanda, termasuk sejumlah pastor tetapi ini justru menjadi semangat dan arah pikiran yang kuat para mantan murid muntilan. Dari sinilah pada tahun 1923 didirikan “Pakempalan politik Katolik Djawi” dengan F.S. Harjadi sebagai ketua. Pendirian inilah yang bisa memunculkan sumpah pemuda dan pada tahun 1930 organisasi ini berubah menjadi “Persatuan Politik Katolik Indonesia”. Organisasi politik PPKI juga menjadi landasan pemikiran untuk menjadikan bangsa ini memerintah sendiri dan membuka mata orang-orang pribumi bahwa Katolik bukan antek kolonianisme. Hal ini juga di akui oleh presiden pertama Indonesia Ir. Soekarno saat mempelajari brosur pastor van Lith.
C.    KARYA MEDIS
Dari semula banyak misionaris, terutama di tempat terpencil menolong orang sakit dengan obat yang sangat sederhana dan mengajar mereka untuk hidup bersih dan sehat. Penduduk Langur (Kei) baru bisa terbuka terhadap pewartaan injil setelah pastur Kusters mengatasi wabah sakit panas yang ganas. Inilah salah satu contoh bagaimana medis juga menjadi alat untuk mewartakan injil.
Karya medis Katolik berkembang secara cepat selama sepuluh tahun terakhir sebelum penjajahan Jepang. Sebelum tahun 1920 hanya ada tiga atau empat rumah sakit dan poliklinik. Antara 1920-1930 dibuka 25 yang baru, dan antara 1930-1941 berkembang sangan cepat menjadi 37 yang baru. Yang terbesar adalah RS. St. Antonius di Ambarawa dengan 199 tempat tidur. Hampir setiap rumah sakit dikelola oleh salah satu kongregasi suster.
Yang menarik perhatian adalah di Flores dan Timor yang hanya memiliki satu rumah sakit misi di Lela dengan 94 tempat tidur, padahal di tempat ini adalah kantong Katolik yang sangat besar. Lebih dari setengah orang Katolik di Indonesia tinggal di dua pulau ini. Hal ini berbanding terbalik dengan Pontianak yang berdiri sepuluh rumah sakit dan poliklinik dengan sekitar 8.400 umat Katolik pada tahun 1941.

III.   GERAKAN ZAMAN BARU
Latar Belakang
Ketenangan batin kini menjadi barang yang mahal. Upaya manusia mendapatkan ketenangan batin dan kebahagiaan, mendorong orang untuk menelusuri komunitas-komunitas spiritual lintas agama. Tapi yang didapat hanya ketenangan semu, bahkan tertipu. Kegundahan, cemas, gamang, gelisah, tak punya pegangan hidup. Itulah yang dirasakan manusia modern dewasa ini, tatkala problematika hidup yang melilit mereka terus membelenggu jiwa dan fikiran. Karir, materi yang berlimpah, tidak membuat mereka menjadi bahagia .Yang dirasakan hanyalah kesempitan dan kegelisahan yang terus menghantui kehidupan . Harapan menemukan jalan keluar, dan mendapatkan ketenangan batin dilakukan dengan berbagai cara menyusuri komunitas-komunitas spiritual.
Agama formal yang ada mereka anggap tidak bisa memenuhi kebutuhan batin mereka untuk mendapatkan ketenangan, kedamaian dan kebahagiaan.Mereka menganggap aturan agama yang ada hanya membelenggu mereka. Belum lagi masing masing agama yang mengklaim ajarannya paling benar, kemudian menyalahkan agama lain yang berujung dengan saling serang antara satu dengan yang lainnya. Sekelompok orang yang tidak puas dengan ajaran agama yang ada mulai mencari cara hidup baru dengan meramu ajaran yang ada dari semua agama. Mereka mencampur adukan ajaran spiritual dari Islam, Kristen, Budha, Hindu dan tradisi kuno, jadilah spiritualitas gado gado yang mereka harapkan bisa memenuhi kebutuhan rohani mereka. Cara hidup dengan meramu berbagai ajaran agama ini dikenal dengan istilah Gerakan Zaman Baru (GZB) atau dikenal didunia dengan sebutan New Age Movement , yang muncul sejak tahun 1960an di Amerika. Apa itu gerakan zaman baru? Apakah gerakannya yang baru?Ternyata yang dimaksud dengan "Zaman Baru" adalah zaman yang akan datang (yang sering juga disebut Zaman Emas, Golden Age, atau Zaman Aquarius) yang sedang dinanti dan diyakini akan segera ter­wujud (ada kelompok tertentu dalam gerakan ini yang meramalkan bahwa Zaman Emas itu akan terwujud tahun 2000, bahkan ada pula yang menyatakan sudah datang sejak 1960-an!)[1].
Ada orang yang menyebutnya sebagai ‘American Movement’.Dengan kemajuan Amerika dalam hal teknologi, akhirnya gerakan ini dengan cepat meluas ke seluruh dunia. Sejak tahun 1970-an dan 1980-an, gerakan ini marak luar biasa[2]Dalam perkembangannya, Gerakan Zaman Baru mengadopsi banyak gagasan dari filsafat dan agama Timur. Gerakan ini memandang dunia tidak semata-mata jelek, tapi akan menuju kepada keadaan yang lebih baik. Dimana seluruh kosmos mengarah kepada suatu tujuan akhir dimana manusia mencapai kesempurnaan dan keilahian, menuju ke zaman baru yang bersifat utopis, yang tidak ada lagi peperangan, kejahatan, peperangan, keparan, kesakitan atau kesusahan dan pada akhirnya tidak aka nada lagi yang namanya kematian[3].
Gejolak itu menimbulkan banyak perubahan di Amerika. Kaum muda tidak memedulikan budaya orang tua mereka. Mereka dengan segenap tenaga mencari nilai-nilai baru. Obat bius dan sejenisnya menjadi media untuk menikmati ketenangan jiwa. Alasan menemukan ketenangan jiwa inilah yang akhirnya membuat mereka berpaling ke Timur. Mereka mulai mempelajari tulisan-tulisan yang berkaitan dengan hinduisme, astrologi atau berguru di tempat sepi dan terpencil [esoterisme]. Pada saat itu juga, kaum muda ini mulai memperkenalkan gaya hidup baru seperti yang dilakukan kaum Hippies dari San Fransisco[4]. Dalam perkembangan selanjutnya, kita mengenal para tokoh Gerakan Zaman Baru yang begitu dominan dalam memperjuangkannya. Mereka itu adalah Ram Daas, Marilyn Ferguson, David Spangler, Judith Skutch, dan Syrley Maclain[5].
Gerakan Zaman Baru (New Age Movement), merupakan sebuah gerakan spiritual yang mengalami perubahan baik secara individu maupun sosial dengan menggunakan perpaduan mistik dan dinamika kosmos secara menyeluruh. GZB menjadi suatu gerakan spontan yang berkembang di seluruh dunia dengan memakai jubah yang berbeda-beda tetapi dengan nafas ajaran yang sama. Gerakan ini tidak muncul dalam suatu bentuk agama atau organisasi tertentu walaupun dalam aktivitasnya seringkali menerapkan kaidah organisasi politik, ekonomi dan sosial. Penampilannya juga termanifestasi dalam bentuk seperti latihan kesehatan, pernafasan dan meditasi. Gerakan ini mempraktikkan kepercayaan agama pantheisme seperti Hinduisme, Budhisme, Taoisme. Gerakan ini juga merasuki banyak aspek kehidupan manusia karena GZB sendiri lebih merupakan sebuah paham atau falsafah hidup. Gerakan ini muncul dengan sebuah gaya hidup baru dengan membangkitkan serta mengaktivasi agama-agama serta tradisi-tradisi kuno ke dalam gaya hidup baru dan modern.

Perkembangan GZB[6]:
1.      Teoritikus dan Jurubicaranya
Salah satu unsur kunci dalam menyebarluaskan GZB adalah sejumlah teorikus dan jurubicaranya yang muncul satu persatu sejak tahun 1970an. Salah seorang yang terkenal adalah Baba Ram Dass. Ia adalah profesor psikologi di Harvard university mendampingi koleganya Timothy Leary (yang dikenal sebagai 'imam besar' dari LSD, sejenis obat bius) pada waktu menjalankan sejumlah eksperimen atas kaum psikedelik.Latar belakang akademik Barat-nya yang luas 'ditransformasikan' oleh kepercayaan Timur yang baru ia temukan, dan membuatnya menjadi simbol yang sempurna dari Zaman Baru. Kaum GZB dengan lahap melalap tulisan-tulisannya yang populer: The Only Dance There Is (Satu-satunya Tarian Yang Ada, 1973), Grist for the MUI (Biji untuk Kilangan, 1977), Journey of Awakening (Kem­bara Kebangunan, 1978), dan Miracle of Love (Mujizat Cinta, 1979). Ia disusul oleh sejumlah tokoh populer lainnya, yang sebagian - sama seperti dia - adalah para pemimpin gerakan-gerakan keagamaan 'alternatif menurut versi masing-masing, antara lain Kirpal Singh, Yogi Bhajan, Pir Vilayat Inayat Khan, Swami Rama, Rabbi Zalman Schachter-Salomi, Swami Kriyananda, Sun Bear, Swami Muktananda dan Rabbi Joseph Gelbermann[7]. Dan yang menonjol adalah Marilyn Ferguson, David Spangler, Judith Skutch, dan Syrley Maclain[8].

2.      Peranan Media Informasi dan Komunikasi
Para pendukung membangun network diantara kelompok maupun organisasi, untuk itu mereak menerbitkan  direktori (buku petunjuk) yang memberi informasi tentang pusat-pusat berbagai kelompok okult, filsafat Timur, dan agama-agama mistik; lalu juga toko-toko 'makanan sehat', toko-toko buku metafisik, perhimpunan anti pembedahan guru-guru yoga, organisasi penelitian parapsikologi, kelompok-minat pengembangan kejiwaan, komune (masyarakat kecil yang hidup ( suatu tempat terpisah), dan fasilitas-fasilitas perawatan kesehatan 'alternatif (artinya: tidak menggunakan tatacara perawatan medis yang lazim)[9]. Disamping itu mereka menggunakan berkala (majalah, jurnal),1960-an adalah New ige Journal, New Realities, New Directions, dan Yoga Journal. Selain ;umasih ada ratusan berkala dan surat edaran (newsletter). Pada wal 1970-an di San Francisco terbitlah direktori GZB yang pertama engan perwajahan dan judul menarik: Common Ground (Landasan lersama). Dalam waktu singkat bentuknya ditiru oleh berbagai direktori dan berkala di kawasan lain.

3.      Model Jaringan Persekutuan, Organisasi dan Bisnisnya
Model jaringan yang paling pas adalah komune, sebab itu banyak guru dari Timur mempromosikan kehidupan komunal bagi ara pengikut mereka, lalu komune-komune itu diikat dalam suatu iringan organisasi yang dipimpin sang guru. Yang menonjol di antara omune-komune ini di AS antara lain adalah Abode of the Message Sanggar Amanat) yang didirikan Pir Vilayat Inayat Khan yang erasal dari tarekat Sufi di Barat, Ananda Community dari Swami Lriyananda[10].Unsur terpenting lainnya dalam penyebar-luasan GZB adalah sjumlah organisasi dan bisnis yang telah dibentuk untuk melancar-an proses transformasi untuk sampai pada jantung penglihatan (visi) aman Baru (lihat di bawah). Setiap kawasan metropolitan mempu-yai sejumlah orang yang mengajarkan tehnik-tehnik transformasi, mlai dari meditasi sampai pada seni perang, atau yang memprak­tekkan beraneka-ragam bentuk pengobatan 'alternatif, terapi "karya-raga" ("bodywork"), dan tuntunan psikologis.
Juga dibentuk sejumlah wadah bisnis untuk melayani perseku­tuan GZB lewat jaringan distribusi bermacam-macam produk mere­ka, mulai dari bantalan yoga dan tikar meditasi sampai pada alat ma­sak makrobiotik, 'makanan sehat', vitamin alamiah, seni ketimuran, dan dupa. Lewat produk dan jaringan bisnis ini mereka hendak mewadahi dan mempromosikan model bisnis GZB sekaligus prinsip-prinsip gerakan itu.
4.        POKOK AJARAN GERAKAN ZAMAN BARU
Pokok ajaran Gerakan Zaman baru antara lain:
A.      YESUS[11].
-          Yesus mengajarkan dan yakin akan adanya kesatuan agama-agama dunia.
-          Yesus mengajarkan bahwa Ia bukanlah Allah yang secara unik menjelma menjadi manusia, namun manusia biasa yang mengalami pencerahan.
-          Yesus mengajarkan bahwa Ia adalah petunjuk jalan bagi manusia bukan juruselamat
-          Yesus mengajarkan bahwa setiap insan memiliki potensidan kecakapan untuk menyelamatkan dirinya.
-          Yesus mengajarkan bahwa transformasi kesadaran merupakan bagian dari upaya manusia menyelamakan diri sendiri
-          Yesus mengajarkan dan percaya pada Bapa sang Bapa (sang Pencipta) dan Allah sang ibu ( yakni sang bumi).
B.       TENTANG TUHAN
Pandangan mengenai Tuhan adalah bersifat panteisme, yang mempercayai bahwa semua adalah tuhan dan tuhan adalah semua (All is God, God is All)[12] . Yang disebut Tuhan tidak lain adalah suatu kekuatan (power/force), kesadaran atau energi alam semesta yang tidak berpribadi (macro cosmos). Yang mereka sebut sebagai Tuhan (kekuatan semesta) pada dasarnya baik dan menjadi sumber kebaikan (monisme), tetapi sekaligus mempunyai sisi terang maupun gelap dalam dirinya. (Ingat konsep Yin dan Yang dalam Taoisme.)
Paradigma New Age tentang keTuhanan kembali ke dalam agama –agama Timur (Hindu, Budha, Tao) yang lebih kepada pengertian inner enerji yang mempunyai kekuatan spiritual, enerji yang mampu membuat perubahan, enerji yang merupakan enerji universe, yang dimiliki oleh setiap individu sebagai potensi kekuatan yang disebut chi atau kundalini (the hidden energy). Artinya One in all, and all in one, menuju pada one world, unity, oneness yang menjadikan dunia dalam keadaan seimbang dan harmonis. Dengan kata lain artinya bahwa Tuhan berada dalam setiap individu, dan Tuhan sebagai creator berada di dalam setiap individu.
C.      SETAN[13]
Di dalam New Age tidak ada kepercayaan tentang eksistensi setan. Perilaku buruk manusia bukanlah karena adanya campur tangan setan . Perilaku buruk manusia muncul karena adalah aspek negatif dari keilahian. Aspek negatif atau kejahatan ini muncul karena adanya ketidakseimbangan atau ketidakharmonisan energi kosmis didalam diri manusia. Jadi, tidak diakui adanya setan yang berpribadi.

D.      MANUSIA[14]
Manusia adalah bagian kecil (micro cosmos) dari energi kosmis (macro cosmos) dan mempunyai sifat ilahi dalam dirinya, atau dapat dikatakan bahwa manusia adalah ilah juga, karena itu manusia pada dasarnya baik. Karena manusia adalah energi/roh yang merupakan bagian dari energi/roh semesta, sifat manusia juga tidak terbatas dan kekal, karena itu ada kepercayaan kuat akan reinkarnasi (menjelma kembali dalam bentuk makhluk lain sesudah mati) yang merupakan bukti penerusan energi/roh kekal itu. Hubungan manusia dengan tuhan dilakukan dengan meditasi yang berarti menyatukan din dengan sumber asalnya.

E.       DOSA DAN KESELAMATAN
Tidak ada pengertian dosa dalam Gerakan Zaman Baru. Manusia pada dasarnya baik, sedang yang disebut kejahatan atau ketidak-baikan hanyalah ketidakseimbangan roh/energi dalam dirinya, jadi tidak ada yang pada dirinya sendiri disebut baik atau jahat. Karena tidak ada dosa maka dengan sendirinya tidak perlu adanya usaha keselamatan, sehingga tugas manusia adalah mengusahakan agar keseimbangan energi/ roh itu dipulihkan kembali dengan kekuatan diri sendiri atau usaha penyeimbangan diri agar sesuai dengan keseimbangan kosmis.

F.       AGAMA
Sebenarnya yang disebut agama itu adalah jalan menuju yang satu itu, yaitu jalan menuju Roh Semesta. Semua agama adalah sama-sama menunjukkan jalan menuju tujuan yang sama yaitu kesatuan Kosmis. Pandangan mengenai agama di sini bersifat sinkretisme yaitu pencampuran faham agama-agama yang dikenal pula dengan istilah universalisme yang berarti bahwa semua agama menuju pada satu kesatuan.

G.      SURGA DAN NERAKA
New Age tidak mengenal konsep dosa, Surga, Neraka, Setan, Malaikat, nabi dan orang-orang suci, tetapi mengenal kosmologi positip dan negatip dalam enerji yang berada dalam diri manusia (inner) yang mampu mempengaruhi kehidupan, tidak mengenal berhentinya kehidupan dengan sebuah kematian di bumi, namun lebih mengenal adanya reinkarnasi. New Age lebih mengenal kelahiran kembali, atau rebirth yang antara lain juga rebirth spiritual saat mana manusia setelah menjalani pembebasan inner enerji yang masih tersembunyi di dalam dirinya. New age tidak mengenal konsep nabi dan imam tetapi lebih mengenal konsep master dan guru spiritual, menekankan bimbingan pada self consciousness untuk menemukan the inner energy, manusia adalah bagian dari kosmik. Tuhan sebagai inner enerji berada dalam diri setiap individu, maka setiap manusia akan memiliki self-consciousness yang tanpa batas.

H.      DOA DAN IBADAH
Bila dalam agama dikenal doa dan ritual ibadah yang merupakan usaha menjalin hubungan/berdialog dengan Tuhan, maka dalam Gerakan Zaman Baru hanya dikenal meditasi/semedi atau perenungan/konsentrasi yang maksudnya adalah penyatuan diri dengan roh atau energi alam semesta[15]. Jadi, bila doa dan ibadah dalam agama merupakan usaha hubungan dengan Tuhan makameditasi merupakan usaha penyatuan diri dengan sumbernya atau meleburkan diri dengan sumber asalnya yaitu roh kosmis.

I.       TENTANG IMAN
Iman dalam pengertian agama yang menghubungkan manusia dengan Tuhannya, dimengerti dalam Gerakan Zaman Baru sebagai potensi manusia atau kekuatan batin berupa energi dalam dirinya, jadi bersifat subjektif yang merupakan aspek kehendak manusia atau motivasi manusia itu sendiri. Prinsip kekuatan hidup (life force) atau energi vital itu merata ada pada semua cabang Gerakan Zaman Baru, seperti potensi Chi/ Ki (Tao/Zen), Prana dan Kundalini (Hindu), Api Ilahi (Theosophy), kekuatan jiwa/mana (Polinesia), Bioplasme (Parapsikologi)


5.         PERKEMBANGAN NEW AGE MOVEMENT DIDUNIA
New Age muncul sebagai akibat manusia merasa stagnasi terhadap agama-agama Tuhan terutama Kristen di belahan Eropa, saat mana manusia merasa bahwa agama Kristen tidak lagi mampu mengatasi kesulitan hidup, kekerasan, penindasan dan peperangan, terjadinya revolusi sosial yang berakhir pada sekularisme pemerintahan negara-negara di Eropa di akhir abad ke 18 dan 19. Saat mana manusia di belahan Eropa secara berbondong menjadi ateiskemudian mengisinya kembali dengan filosofi New Age yang segera menjadi gerakan yang mengglobal dan sudah semakin terasa di belahan dunia bagian Timur sendiri dan juga Indonesia, yaitu semakin populernya mistisisme , kekuatan the sixth sense, dan kepekaan lebih dalam melihat dunia lain, melihat masa depan, dan melihat berbagai kejadian masa lampau, telepati, hipnotisme, pembukaan (awakening) tenaga (chi), Yoga, Reiki, Tai-chi, dan Chi-kung. Ilmu-ilmu pengobatan dengan menggunakan inner enerji ini kini semakin meluas dan dicari-cari orang terutama untuk menjaga kesehatan dan penyembuhan berbagai penyakit yang belum dapat disembuhkan dalam terapi medik.
Ideologi inti dari Gerakan Zaman Baru adalah “pantheisme”: God is all and all is god. Oleh karena itu,New Agers sangat menghayati betul arti pentingnya monisme (segala sesuatu yang ada, merupakan derivasi dari sumber tunggal), pantheisme (all is God and God is all, menekankan kesucian individu, dan karenanya proses pencarian Tuhan tidaklah melalui Teks Suci, tetapi justru melalui diri sendiri, karena God within our self), reinkarnasi (setelah kematian, manusia terlahirkan kembali, dan hidup dalam alam kehidupan lain sebagai manusia.
Dalam Gerakan Zaman Baru, prinsip dasar yang berlaku adalah, “pada dasarnya dibalik alam semesta ini, ada kekuatan semesta [Power, Energy, Force] yang menjadi sumber terjadinya segala sesuatu, dan manusia adalah bagian dari kekuatan semesta itu, atau dengan kata lain kalau kita menyebut kekuatan semesta itu sebagai Kekuatan Besar [makro kosmos] maka manusia adalah kekuatan kecil [mikro kosmos]. Pada prinsipnya, Gerakan Zaman Baru mempengaruhi manusia mempraktikan kepercayaan agama Pantheisme seperti Hinduisme, Budhisme, Taoisme. Penampilannya pun termanifestasi dengan wajah baru. Misalnya, berupa latihan-latihan kesehatan, latihan pernafasan dan meditasi.
Tradisi spiritual New Agers lintas agama ini, tidak saja dapat mengobati kegersangan spiritual yang sekian lama hampa dari lingkungan agama formal, tetapi juga memberi muara kepada New Ages ke arah terwujudnya Universal Religion. Agama Universal, di mana ada proses awal kesadaran akan all is God and God is all yang menjadi sandaran doktrin Pantheisme, tetapi kemudian bergeser ke arah kesadaran spiritualitas New Age yang meyakini bahwa “hanya ada Satu Realitas yang eksis”. Semua agama, begitu keyakinan New Agers, hanyalah sekadar jalan-jalan menuju kepada Satu Realitas yang menjadi ultimate reality dari semua pejalan spiritual (agama-agama).

III. PERKEMBANGAN NEW AGE MOVEMENT DI INDONESIA
Gerakan Zaman Baru (GZB) atau New age Movement masuk ke Indonesia kira-kira tahun 1970an, dan juga tumbuh dengan subur di Indonesia[16]. Buku-buku bernafaskan GZB banyak bertebaran ditoko buku, judulnya pun menggiurkan dan harganya terjangkau. Tak jarang dibumbui dengan kata “Best Seller”. Misalnya “Super Cerdas dengan Aktivasi Otak Tengah”, Dahsyatnya Otak Tengah, The Power of Blessing, Revolusi IQ/EQ/SQ, buku buku tentang Hypnoterapi,  Law of attraction, Meditasi dan lain sebagainya.
GZB merasuk di banyak sektor. Cara penyebaran utamanya melalui perawatan kesehatan, yaitu self healing dan pengobatan dari dalam diri serta kembali kepada nature. New Ager juga mempopulerkan pelatihan motivasi, pencerahan, pendidikan berbasis psikologi dan otak, pengasuhan, hypnose, kedahsyatan potensi otak, aktivasi otak tengah, dan pelatihan energi spiritual. Tak luput disusupi, seolah pengajaran agama (sinkretik).
Salah satu aliran yang mirip dengan fenomena New Age adalah Anand Krishna. Orang-orang yang mengikuti meditasi di padepokannya adalah mereka yang mempunyai latar belakang agama yang bermacam-macam, seperti Islam, Kristen, Katolik, Buddha, dan sebagainya. Ajaran-ajaran Anand yang disebarkan melalui buku-buku dan ceramah-ceramahnya, kerap mengatakan, bahwa semua agama adalah jalan yang benar menuju Tuhan, aku adalah Tuhan dan Tuhan adalah aku. Kebanyakan dari berbagai aliran kebatinan yang muncul di Indonesia mempunyai ciri yang sama dengan Gerakan Zaman Baru.

IV.   DAMPAK DAN APLIKASI
Masuknya misi di Indonesia memberikan pengaruh besar di berbagai segi kehidupan masyarakat, khususnya bagi mereka yang kemudian memeluk agama Katolik dan Kristen. Antusiasme dan kerja keras yang mereka miliki dalam bermisi menjadi pelajaran yang berharga bagi gereja masa kini untuk melaksanakan misi khususnya ketika mereka menghadapi situasi-situasi yang sulit. Di dalam pelaksanaan pelayanan ini, orang Kristiani tidak berjerih lelah sendiri melainkan bersama dengan tim yang akan bekerja bersama-sama. Dan di dalamnya dibutuhkan komitmen bagi setiap pekerja Injil untuk mengorbankan banyak hal di dalam hidup mereka, termasuk nyawa mereka sendiri.
Selain itu, pekabaran Injil juga dilihat sebagai satu pelayanan yang tidak hanya menitikberatkan kepada tujuan utama dan tertingginya, yaitu membawa jiwa terhilang kepada Tuhan Yesus, tetapi juga dengan pelayanan itu, mereka memberikan dampak sosial bagi masyarakat. Selain ada banyak orang Kristen dan Katolik yang datang ke Indonesia untuk menjadi guru, pegawai, karyawan bank, perusahaan, perkebunan, mereka juga memberdayakan masyarakat non Kristen dan Katolik dengan cara melatih mereka untuk dipersiapkan di dalam masyarakat, khususnya di bidang kesehatan. Hal ini terlihat dari banyaknya rumah sakit dan sekolah yang ditinggalkan, baik oleh misionaris Katolik maupun Kristen.
Melalui sekolah-sekolah yang mereka dirikan, ada banyak orang Indonesia yang berhasil di tahbiskan menjadi imam. Selain itu mereka juga mengadakan karya medis yaitu menolong orang sakit dengan berobat bahkan mengajarkan bagaimana hidup bersih di dalam lingkungan keluarga dan khususnya diri sendiri, sehingga masyarakat pada waktu itu mengalami kenyamanan dan kesehatan yang baik. Dampak tersebut sampai sekarang masih dirasakan oleh orang-orang Indonesia, seperti rumah sakit yang sekarang masih ada yaitu RSImanuel,RS. St. Antonius, dll.
Di dalam pelayanannya, gereja harus berhati-hati terhadap semua pengajarannya, jangan sampai gereja lengah dan membuka pintu bagi pengajaran yang tidak sehat seperti gerakan zaman baru yang sudah masuk ke Indonesia.Gerakan ini dapat menggoyahkan iman orang Kristen karena mereka mengatakan bahwa agama adalah pemecah belah manusia dan tidak memberikan solusi bagi permasalahan manusia.Hal-hal mistik dan meditasi yang dikenalkan oleh Gerakan Zaman Baru ini juga sudah mulai berkembang di masyarakat Indonesia, termasuk di kalangan orang Kristen sendiri.Hal ini terlihat dengan banyak munculnya paham-paham tentang pembukaan (awakening) tenaga (chi), Yoga, Reiki, Tai-chi, dll.Juga semakin banyak orang yang percaya kepada the sixth sense yang dipercaya dapat melihat baik masa lampau maupun masa yang akan datang, makin banyak yang minat belajar telepati dan hipnotisme.Oleh sebab itu, gereja harus berhati-hati.Dalam pemberitaan Firman, gerejadiingatkan untuk tidak mengkompromikan Firman. Ketika gereja mulai berkompromi, maka Tuhan tidak berkenan kepada pelayanannya.

V.      KESIMPULAN
Di tengah kemajemukan bangsa Indonesia, orang Kristen telah memperlihatkan perannya yang besar di dalam berbagai bidang, baik sebelum maupun sesudah kemerdekaan RI.Peran ini diberikan baik oleh orang Kristen dan Katolik Eropa maupun Indonesia.Peninggalan-peninggalan yang ditinggalkan oleh lembaga misi juga menjadi satu fondasi baik untuk Kekristenan masa kini maupun untuk masyarakat Indonesia secara umum.
Penginjilan tidak semudah yang dipikirkan gereja. Tetapi jika kita memiliki panggilan yang murni disertai dengan skill yang tepat, kita bisa melaksanakan Amanat Agung Tuhan Yesus ini. Tetapi yang lebih penting di atas segalanya adalah penyerahan total kepada Tuhan dan bersandar penuh kepada kuasa-Nya. Selain itu, di dalam penginjilan, motivasi kita adalah hal yang penting. Di dalam PI, kita harus waspada mengenai apa yang kita beritakan dan siap menghadapi pengorbanan yang harus diberikan.
Gerakan Zaman Baru yang saat ini sudah mulai marak di Indonesia merupakan gerakan yang menarik karena mencoba mengisi kekosongan batin masyarakat modern. Di sinilah setiap umat Kristen ditantang dengan suatu pertanyaan "Sampai di manakah arti Injil dalam kehidupan batinnya secara nyata?", dan umat Kristen juga ditantang untuk membawakan Injil rohani kepada umat manusia, karena sebenarnya Injil adalah Kabar Baik yang sebetulnya mengisi kebutuhan batin umat manusia yang mau menerimanya. Jadi, sebenarnya orang Kristen tidak perlu mencari ketenangan batin di luar Kristus, sebab Kristus telah menjamin dan menjanjikan hal itu kepada para pengikutNya yang percaya kepadaNya (Mat 11:28).
Tuhanlah yang seharusnya menjadi pusat hidup kita bukan dunia ini, hanya Tuhanlah yang sungguh memberikan kehidupan yang sesungguhnya kepada setiap yang percaya dan beriman kepada-NYA.



[1] Pdt.Dr.Jan.S. Aritonang, Berbagai Aliran di Dalam dan di Sekitar Gereja (Jakarta BPK Gunung Mulia, 1996), hal 427.
[2] Ibid hal. 431
[3] Ibid hal 427-428
[4] Ibid hal 438-439
[5] Ibid hal 439-441
[6] Ibid hal 439-443.
[7] Ibid hal 439.
[8] Ibid hal 439-441
[9] Ibid hal 441-442
[10] Ibid hal 442.
[11] Ibid, hal 451
[12] Ibid hal 451
[13]http://alkitab.sabda.org/resource.php?topic=256&res=jpz
[14]ibid
[15] Ibid hal 450
[16]http://www.google.co.id/url?q=http://www.oocities.org/thisisreformed/artikel/hmngzb.pdf&sa=U&ei=2B20UI2gIMPorAf7tIHYCg&ved=0CCMQFjAC&usg=AFQjCNEcsjk6xgvprpPxeBbXgDNbHjLotA


[i] RG 2. Hal. 403
[ii] RG 2. Hal. 406
[iii] www.slideshare.net
[iv]id.wikipedia.org