Kamis, 22 Agustus 2013

PAHAM (AJARAN) TEOLOGI REFORMED TENTANG BAPTISAN ANAK, DAN TANGGAPAN TERHADAPNYA

I.       PENDAHULUAN

Baptisan merupakan suatu topik yang sering menjadi pembicaraan yang membumi di tengah orang-orang percaya baik dari segi bentuk-bentuk baptisannya, yaitu di mana ada yang mengatakan baptisan percik yang alkitabiah, dan ada yang mengatakan baptisan selam yang alkitabiah. Ada juga yang meperdebatkan tentang yang berhak menerima baptisan itu adalah mereka yang sudah dewasa, karena merekalah yang sudah mengenal, mengerti dan menerima Tuhan sebagai juru selamat dalam kehidupannya.
Baptisan merupakan tanda sakramen dari perjanjian baru. Hal ini merupakan tanda Allah memateraikan janji-Nya kepada orang-orang pilihan-Nya, yaitu bahwa mereka termasuk dalam ikatan perjanjian anugerah. Babtisan merupakan tanda pembersihan dan pengampunan dari dosa-dosa. Pemakaian kata baptisan dalam Alkitab menunjukkan sesuatu yang terjadi pada permulaan seperti langkah pertama dan hal itu tidak diulangi lagi. Hal ini memang benar baik mengenai babtisan air maupun baptisan roh.[1]
Dalam paper ini penulis akan mencoba menjelaskan tentang apa sebenarnya baptisan tersebut dan apa yang dimaksudkan dengan baptisan anak, apa makna dari baptisan tersebut dilihat dari pandangan teologi reformed serta bagaimana aplikasi dari baprisan anak itu dalam kehidupan masa kini.

II.    PENGERTIAN BABTISAN ANAK

Baptisan merupakan keterhisapan ke dalam gereja yang tampak, anugerah dari covenan, kelahiran baru, penghapusan dosa, dan kewajiban dan ketaatan baru. Baptisan merupakan suatu tanda dan materai, bukan dari satu bagian tertentu dari karya agung anugerah ilahi, melainkan dari keseluruhan keajaiban yang kompleks dari karya yang ilahi itu.[2]
Baptisan terhadap anak (kecil) merupakan sakramen yang sudah biasa dipraktekkan oleh gereja-gereja Kristen disepanjang sejarah gereja Kristen disepanjang sejarah gereja, mulai dari abad kedua A.D. Walaupun demikian, baptisan anak juga ditentang oleh beberapa denominasi gereja tertentu sejak masa paska reformasi gereja abad keenambelas A.D.[3]
Baptisan anak merupakan sakramen yang telah sering dilaksanakan oleh gereja-gereja Kristen disepanjang sejarah kekristenan, namun ketepatan pelaksanaan sakramen ini masih terus diperdebatkanoleh orang-orang Kristen yang saleh dari berbagai denominasi. Perjanjian baru secara eksplisit memerintahkan anak untuk dibaptis tetapi secara eksplisit juga melarang babtisan anak.[4]
Baptisan anak adalah sakramen baptisan yang seharusnya dilaksanakan pada anggota gereja dan gereja merupakan kumpulan orang-orang percaya. Seorang bayi tidak dapat mengatakan iman percayanya, maka mereka tidak boleh dibaptis. Dipihak lain menyetujui baptisan anak karena menekankan kesejajarannya dengan sunat. Meskipun baptisan dan sunat tidaklah identik. Keduanya memiliki krusial yang sama. keduanya merupaka yanda ikatan perjanjian dan merupakan tanda dari iman.
Ada bererapa pandangan yang berbeda untuk mengungkapkan tentang baptisan, yaitu antara pandangan kaum baptis dan non-baptis. Perbedaan pandangan yang penting antara kaum Baptis dan non-baptis (walaupun belakangan banyak denominasi non baptis mengikuti jejak kaum baptis) adalah dalam hal baptisan anak-anak. Sebagaimana dikemukakan oleh Dr. Hovey (seorang penulis Baptis), "Hanya orang percaya dalam Kistuslah yang boleh menerima baptisan dan hanya mereka yang dapat menunjukan bukti yang diterima bahwa mereka beriman dalam Kristus saja yang boleh dibaptiskan." Hal ini berarti bahwa naka-anak harus disingkirkan dalam Sakramen Baptisan. Dalam denominasi yang lain, baptisan anak-anak dapat diterima. 

III. PAHAM REFORMED TENTANG BABTISAN ANAK

Beberapa alasan yang dijadikan sebagai dasar dari keberatan-keberatan terhadap terhadap praktik baptisan terhadap anak (kecil) yang diajukan oleh gereja-gereja yang menentang:[5]
ü Di dalam perjanjian baru tidak ada ayat atau bagian yang secara eksplisitmemerintahkan baptisan terhadap anak.
ü Menurut catatan-catatan tentang baptisan yang terdapat di dalam perjanjian baru, baptisan air hanya diberikan kepada orang-orang dewasa yang telah (mampu) mengaku percaya kepada Yesus Kristus.
ü Anak-anak kecil dianggap belum mampu untuk mengaku percaya kepada Yesus Kristus. Jadi, mereka dianggap belum memenuhi syarat untuk menerima baptisan.
ü Tidak ada hubungan antara sunat di dalam perjanjian lama dan baptisan (air) di dalam perjanjian baru.
Beberapa alasan yang dapat dijadikan sebagai dasar untuk praktik baptisan terhadap anak (kecil)yang dipegang oleh gereja-gereja yang mendukung:
ü Adanya kesejajaran dan hubungan yang erat antara sunat di dalam perjanjian lama dan baptisan (air) di dalam perjanjian baru; yang mana keduanya merupakan tanda dan materai dari (terhibaskan ke dalam) umat perjanjian Allah.
ü Kesaksian catatan-catatan tentang baptisan di dalam perjanjian  baru yang bersifat eksplisit memang menceritakan baptisan kepada orang-orang Kristen yang dewasa, karena generasi pertama orang-orang Kristen adalah orang-orang yang sudah dewasa.
ü Perjanjian baru yang mencatat tentang adanya pembabtisan yang dilakukan terhadap seisi rumah orang yang percaya kepada Yesus Kristus. Hal  ini secara implisit mengindikasikan adanya baptisan yang diberikan juga terhadap anak-anak kecil yang menjadi bagian dari keluarga dan rumah tersebut.
ü Perjanjian baru memberikan kesaksian bahwa melalui anugerah dari Allah, anak-anak kecil juga mampu percaya kepada Yesus Kristus dan menjadi pewaris kerajaan Allah.
ü Sejarah gereja memberikan kesaksian bahwa pembabtisan terhadap anak-anak kecil sudah biasa dilakukan secara universal oleh gereja-gereja di dalam abad ke dua A.D. Pada hal masa itu gereja-gereja berada di bawah pimpinan dari bapa-bapa Gereja post-apostolik, yang mana banyak dari antara mereka adalah murid-murid langsung dari para rasul Yesus Kristus. Tetapi melalui catatan mengatakan bahwa mereka menentang baptisan anak.
Pemahaman Tentang Makna Baptisan
1.      Baptisan sebagai sarana penyaluran anugerah keselamatan
Ada kalangan yang beranggapan bahwa upacara baptisan dalam air itu sendiri menyalurkan anugerah kepada orang yang dibaptis. Hal ini dikaitkan dengan kelahirang kembali dan banyak berkembang dalam pemahaman Katolik. Sedangkan dalam pemahaman lain ada yang mengatakan bahwa baptisan ini merupakan anugerah keselamatan bagi penerima baptisan karena baptisan sendiri menghapuskan dosa.[6]
2.      Baptisan sebagai tanda dan materai perjanjian
3.        Babtisan sebagai tanda keselamatan
Baptisan merupakan kesaksian di hadapan umum terhadap iman kita kepada Yesus Kristus. Babtisan ini merupakan perintah dari tuhan sendiri tetapi baptisan ini tidak menghasilkan perubahan rohani. Baptisan merupakan bukti penguat dari keselamatan seseorang kepada diri sendiri dan menegaskannya kepada orang lain.[7]
Peraturan baptisan melambangkan penyatuan orang percaya dengan Kristus dalam kematian, penguburan, dan kebangkitan-Nya. Ada beberapa cara baptisan yaitu ada ada babtisan percik, situangkan, dan diselam. Dalam ketiga bentuk babtisan ini ada berbagai variasi. Pada umumnya banyak orang yang percaya bahwa istilah dibabtis berarti dicelupkan sehingga babtisan dengan cara diselamkan yang paling cocok dengan makna istilah ini. Sejarah gereja mendukung baptisan dengan cara diselamkan. Memercik dan menuangkan air baru dipakai karena ada kekuarangan air atau sebagai penyucian terhadap orang-orang sakit, dan sudah lanjut usia.[8] Baptisan adalah tanda dan materai janji Allah akan pengampunan dosa. Baptisan memperlihatkan apa yang dikerjakan Allah dalam batin orang percaya.[9]
Ada beberapa hal penting berkenaan dengan ajaran alkitab mengenai baptisan anak, yaitu:[10]
ü  Dalam baptisan anak jelas terlihat bukan manusia yang memerintah Allah melainkan Dia sendirilah yang memerintah dan memilihnya.  Jadi baptisan bukanlah suatu tanda dan materai kepercayaan melainkan tanda-tanda materai janji-janji Allah.
ü  Tentang anak-anak orang percaya menerima tanda perjanjian yang menekankan pertanggungjawaban orang tua untuk mendidik anak-anak mereka  untuk takut akan Tuhan.
ü  Tanda baptisan memperlihatkan bahwa anak-anak telah menerima segala janji perjanjian Allah, sekaligus hanya memenuhi tuntutan perjanjian.ketika mereka beranjak dewasa dan tidak percaya bahwa mereka memutuskan perjanjian dengan Allah dan mereka akan menerima hukuman yang lebih berat.
ü  Seorang yang dibaptis dari kecil boleh melihat kasih Allah yang yang memberikan janji-janji itu.
ü  Pada akhirnya Allah yang memberikan janji-janji-Nya kepada anak-anak orang percaya, merupakan penghiburab bagi orang-orang tua Kristen yang mengalami kematian anak-anak mereka. Walaupun anak itu belum menerima Yesus Kristus sebagai juru Selamatnya, orang tua mereka yakin bahwa mereka diterima dan dikuduskan oleh kasih-Nya dalam Yesus kristus.

IV. IMPLIKASI BABTISAN ANAK PADA MASA KINI

Baptisan memiliki dua arti atau makna yang terkait erat satu sama lain, yaitu:[11]
ü Baptisan anak menyatakan bahwa orang tua dari anak yang dibabtis menerima akan perjanjian anugerah dari Allah terhadap umat-Nya, yang mana anak dari orang Kristen juga menerima bagian di dalam status sebagai umat perjanjian Allah. Oleh karena itu keselamatan dijanjikan kepada mereka.
ü Baptisan menyatakan tekad, dedikasi dan komitmen orang tua dari anak yang dibaptis untuk mendidik dan membimbing anaknya ke dalam iman kepada Yesus Kristus, seperti diri-Nya.

Dasar Alkitab tentang baptisan anak-anak. 
Dapat dikatakan bahwa dalam Alkitab tidak ada perintah yang aksplisit mengenai baptisan anak-anak. Juga tidak pernah kita lihat satu contoh pun dalam Alkitab mengenai peristiwa anak-anak yang dibaptis. Tetapi hal ini tidak harus menjadikan kita menganggap baptisan anak-anak sebagai sesuatu yang tidak alkitabiah. Dasar Alkitab untuk baptisan anak-anak dapat kita jumpai dalam data berikut:
1.       Perjanjian yang dibuat dengan Abraham adalah suatu perjanjian spiritual, walaupun perjanjian itu juga mengandung aspek nasional. Bagi perjanjian spiritual ini sunat adalah lambang dan materainya. Orang Baptis, yang memisahkan perjanjian ini menjadi dua dari tiga perjanjian yang ada, sesunguhnya tidak sesuai dengan Alkitab. Alkitab menyebut perjanjian dengan abraham beberapa kali tetapi selalu dalam bentuk tunggal (Kel 2:24; Im 26:42; 2 Raj 13:23; 1 Taw 16:16; Mzm 105:9). Tidak ada perkecualian satu pun dalam ayat-ayat itu. Sifat spiritual dari perjanjian ini dibuktikan dengan cara dimana janji-janjinya ditafsirkan dalam perjanjian baru (Rom 4:16-18; 2 Kor 6:16-18; Gal 3:8,9; Ibr 8:10; 11:9,10,13
2.      Perjanjian ini masih berlaku dan secara esensial sama dengan "perjanjian ynag baru" pada masa sekarang. Kesatuan dan kesinambungan dari perjanjian baik dalam masa Perjanjian Lama maupun masa Perjanjian Baru keluar dari kenyataan bahwa Sang Pengantara tetaplah sama (Kis 4:12; 10:43; 15;10,11; Gal 3:16; 1 Tim 2:5,6; 1 Pet 1:9-12). Syaratnya juga masih tetap sama yaitu iman (Kej 15:6; Rom 4:3,; Ibr 2:4). Berkat dari perjanjian itu masih sama yaitu pembenaran (Mzm 32:1,2,5 ; Yes 1:18; Rom 4:9; Gal 3:6), kelahiran kembali (Ul 30:6; Mzm 51:10), karunia rohani (Yo 2:28,32; Kis 2:17-21; Yes 40:31) dan hidup yang kekal (Kel 3:6; Ibr 4:9; 11:10).
3.      Oleh penunjukan Tuhan sendiri anak-anak juga mendapatkan keuntungan dari perjanjian itu dan dengan demikian mereka menerima sunat sebagai lambang dan materai. Menurut Alkitab perjanjian itu jelas merupakan sebuah konsep organik, dan pelaksanaannya bergerak sepanjang garis sejarah dan organik. Ada umat atau bangsa kepunyaan Allah, dan ini merupakan sebuah kesatuan organik yang hanya mungkin dibentuk dalam keluarga. Pengertian tentang suatu bangsa ini sangat menonjol dalam Perjanjian Lama. Tetapi pengertian itu tidak lenyap ketika bangsa Israel telah mencapai tujuannya. Pengertian bangsa ini dirohanikan dan terus dibawa masuk kedalam Perjanjian Baru, sehingga umat Allah Perjanjian Baru juga disebut sebagai satu bangsa, Mat 21:42; Rom 9:25,26 (cf. Hos 2:23); 2 Kor 6:16; Tit 2:14; 1 Ptr 2:9. anak-anak dan bayi juga diperhitungkan selama jaman perjanjian lama sebagai suatu bagian integral dari Israel sebagai umat Allah. Anak-anak itu ada ketika perjanjian diperbaharui (Ul 29:10-13; Yos 8:35; 2 Taw 20:13). Anak-anak juga memiliki kedudukan dalam jemaat Israel dan karena itu juga hadir dalam pertemuan-pertemuan religius mereka (2 Taw 20:13; Yoel 2:16). Kalau kita memandang janji-janji ynag luar biasa itu seperti dalam Yes 54:13; Yer 31:34; Yo 2:28, maka kita tentunya tidak akan berharap jika hak khusus yang juga dimiliki anak-anak itu kemudian dikurangi dalam Perjanjian Baru.
4.      Pada jaman Perjanjian baru, baptisan oleh Otoritas Ilahi mnggantikan sunat sebagai lambang dan materai pentahbisan dari perjanjian anugerah. Alkitab dengan tegas menekankan bahwa sunat sudah tidak bisa lagi berfungsi sebagai lambang dan materai pentahbisan Kis 15:1,2; 21:21; Gal 2:3-5; 6:12,13,15. Jika baptisan tidak menggantikan kedudukan sunat, maka Perjanjian baru tidak memiliki ritual pentahbisan. Tetapi jelas bahwa Kristus menggantikan sunat itu dengan bsptisan, Mat 28:19,20; Mrk 16:15,16. Baptisan sesuai dengan sunat dalam pengertian spiritual. Sebagaimana sunat menunjuk kepada pengeratan atas dosa dan perubahan dalam hati, Ul 10:16; 30:6; Yes 4:4; 9:25,26; Yes 44:7,9, seperti itu pulalah baptisan menunjuk kepada pembasuhan dosa, Kis 238; 1 Ptr 3:21; Tit 3:5, selain juga menunjuk kepada pembaharuan spiritual, Rom 6:4; Kol 2:11,12. Ayat yang terakhir ini dengan jelas menunjukan kaitan antara baptisan dengan sunat. Ayat itu juga mengajarkan kepada kita tentang sunat didalam hati yang ditandai oleh pembaptisan (cf. Gal 3:27,29). Tetapi jjika anak-anak menerima materai dan lambang itu dari Perjanjian Lama yang lama, maka tentunya anak-anak itu juga mempunyai hak untuk menerima materai dan lambang itu dalam perjanjian ynag baru, yang melaluinya orang saleh dalam perjanjian lama diajar untuk melihat ke depan kepada jaman yang lebih penuh dan kaya. Jika mereka tidak menerima hal ini, maka haruslah mereka mendapatkan pernyataan yang tidak samar tentang hal ini, tetapi kenyataan yang ada justru sebaliknya , Mat 19:4; Kis 2:39; 1 Kor:7:14.
5.      Sebagaimana yang dibicarakan dalam bagian sebelumnya, Perjanjian Baru tidak memberikan bukti langsung mengenai baptisan anak-anak pada jaman para rasul. Setelah mempertimbangkan semua bukti yang mungkin, Lambert mengemukakan keseimpulannya sebagai berikut: Jadi, bukti Perjanjian Baru tampaknya menunjuk pada kesimpulan bahwa baptisan anak-anak bukanlah kebiasaan yang umum dilakukan pada jaman rasul. Tetapi kita tidak perlu terkejut jika baptisan anak-anak tidak disebutkan, sebab pada jaman pekabaran Injil seperti pada jaman para rasul itu tekanan akan jatuh pada baptisan dewasa. Lebih dari itu, keadaan tidak selalu menunjang bagi baptisan anak-anak. Orang yang bertobat akan segera memiliki konsep yang tepat tentang tugas-tugas perjanjian serta tanggung jawabnya. Kadang-kadang hanya salah satu dari orang tua saja yang bertobat, dan wajar saja jika orangtua yang belom bertobat menentang baptisan untuk anak-anaknya. Seringkali tidak ada jaminan bahwa orang tua akan mendidik anaknya secara religius dan karenanya jaminan seperti itu diperlukan. Pada saat yang sama, istilah yang dipakai dalam Perjanjian Baru sangat kosisten dengan kesinambungan pelaksanaan organis dari Perjanjian itu yang menuntuk sunat bagi anak-anak Mat 19:14; Mrk 10:13-16: Kis 2:39; 1Kor 7:14. Perjanjian Baru berulang kali berbicara tentang baprisan bagi seluruh keluarga dan tidak memberikan indikasi bahwa hal ini dilakukan keluar dari kebiasaan, tetapi lebih menunjuk sebagai sesuatu yang biasa (Kis 16:15,33; 1Kor 1:16). Sangat mungkin, tetapi tidak terlalu pasti, bahwa tidak satupun dari anggota keluarga itu berisi anak-anak. Dan jika seandainya ada bayi disana, secara moral pastilah bayi itu juga dibaptiskan bersama orang tuanya. Perjanjian Baru pastilah tidak akan berisi bukti bahwa pribadi-pribadi yang lahir dan dibesarkan dalam keluarga kristen tidak dibaptiskan sampai usia akil balik dan telah menyatakan pengakuan iman mereka dalam Kristus.
6.      Wall dalam bagian pendahuluan bukunya yang berjudul History of Infant Baptism menunjukan bahwa dalam baptisan anak proselit dari orang tua proselit, mereka sering dibaptiskan bersama dengan orang tua mereka. Edersheim dalam bukunya Life and Times of Jesus the Messiah mengatakan bahwa sesungguhnya ada perbedaan pandangan tentang hal ini. Sesungguhnya, bahkan jika hal seperti ini terjadi, hal itu tidak membuktikan apa-apa sejauh baptisan kristen terkait. Sebaliknya, akan menunjukan bahwa sesungguhnya tidak ada satupun yang aneh dalam prosedurnya. Rujukan sejarah paling awal mengenai baptisan anak-anak kita temukan dalam tulisan diparuh kedua abad kedua. Didache membicarakan tentang baptisan dewasa, bukan baptisan anak-anak. Justin menyebutkan perempuan-perempuan yang menjadi murid Kristus sejak masa anak-anak (ek paidon). Bagian itu memang tidak membicarakan tentang baptisan, dan kalimat ek paidon tidak harus menunjuk bayi.Irenius ketika membicarakan tentang Kristus menyatakan: "Ia datang untuk menyelamatkan manusia melalui diri-Nya sendiri. Mereka yang diselamatkan melalui Dia dilahirkan baru kepada Allah, baik bayi maupum anak kecil, anak-anak yang sudah agak besar, para pemuda dan orang tua." Perkataan ini walaupun tidak eksplisit menyebutkan soal baptisan, namun pada umumnya dianggap sebagai rujukan paling awal bagi baptisan anak-anak. Karena Bapak-Bapak Gereja sangat mengaitkan baptisan dan kelahiran kembali, maka mereka memakai istilah "kelahiran kembali" untuk menunjuk "baptisan". Pada paruh kedua abad kedua, baptisan anak-anak telah biasa dilakukan dan ini terlihat dari tulisan Tertullian, meskipun ia sendiri menganggap baptisan itu agak ditunda. Origen menyyebutnya sebagai tradisi para rasul. Sejak abad ke dua dan selanjutnya , baptisan anak-anak secara teratur dilakukan walaupun kadang-kadang dalam pelaksanaanya ada juga yang mengabaikannya. Augustinus mengambil dari kenyataan bahwa baptisan anak-anak pada umumnya dilakukan Gereja diseluruh dunia walaupun tidak ditetapkan didalam Konsili. Hal seperti ini mungkin terjadi, tentunya karena sudah ditetapkan oleh otoritas para rasul. Manfaat dari baptisan anak-anak ini tidak pernah disangkal sampai pada jaman Reformasi ketika Anabaptis menyerangnya.









V.    KESIMPULAN

Baptisan telah menjadi pengganti sunat sebab sunat telah digenapi oleh Kristus. Di dalam Perjanjian Lama, sunat menjadi tanda perjanjian Allah dengan umat-Nya, sebagaimana baptisan juga menjadi tanda perjanjian Allah dengan umat-Nya di dalam Perjanjian Baru. Baptisan anak merupakan suatu baptisan yang dilaksanakan untuk anak yang masih kecil, di mana sang anak belum mengerti, dan belum mengenal akan apa yang dikatakan dengan kebenaran. Tetapi baptisan ini secara implisit tidak dilarang dan tidak didukung oleh Alkitab. Dan banyak gereja-gereja yang yang mempermasalahkan akan hal ini. Dimana ada gereja yang mendukung akan baptisan anak, ada juga yang tidak mendukung. Jadi kesimpulannya Baptisan bukan seremoni biasa, bukan menjadi penentu kita sudah diselamatkan, melainkan tanda atau perjanjian Allah kepada setiap pribadi.



[1] Billy Graham, Roh Kudus: Kuasa Allah Dalam Hidup Anda, (Bandung: Lembaga Literatur Baptis, 2000), hal 90.
[2] G. I. Williamson, Pengakuan Iman Westmister, (Surabaya: Momentum, 2009), hal 320.
[3] Antonny Natan, Diktat Doktrin Gereja, (Bandung: Sekolah Tinggi Teologi bandung, 2012), hal 27.
[4] R. C. Sporul, Kebenaran-Kebenaran Dasar Iman Kristen, (Malang: Seminari Alkitab Asia Tenggara, 2008), hal 299.
[5] Antonny Natan, Diktat Doktrin Gereja, hal 27.
[6] Millard J. Erikson, Teologi kristen Volume 3, (Malang: Gandum Mas, 2003), hal 370.
[7] Ibid, hal 379.
[8] Henry C. Thiessen, Teologi Sistematika, (Malang: Gandum Mas, 2003), hal 500-501.
[9] J.J. Schreuder, Baptisan Anak, (Surabaya: Momentum, 1999), hal 1,2.
[10] J.J. Schreuder, Baptisan Anak, hal 31,32.
[11] Antonny Natan, Diktat Doktrin Gereja, hal 28

Tidak ada komentar:

Posting Komentar